Kalau
saja siswa-siswa zaman sekarang dibawa pergi dengan mesin waktu milik Doraemon
untuk ngintip ke masa-masa sekolah saya
dulu, pasti mereka bakal ngakak
guling-guling ketika mendengar ada pelajaran yang namanya Peta Buta. Mereka
yang penasaran pasti langsung bertanya. Pelajaran jenis apakah itu? Sejenis
permainan petak umpet kah?
Jangankan
mereka, ketika pertama kali dengar nama pelajaran itu saat masih duduk di kelas
IV SD saja saya juga tertawa geli. Waktu itu saya membayangkan sebuah buku atlas
yang tebal, memakai kaca mata hitam, dan sambil memegang tongkat. Sangat konyol
memang, tapi walau begitu pelajaran tersebut menjadi salah satu pelajaran
favorit saya saat SD. Terbukti, sampai saat ini maanfaatnya benar-benar bisa
saya rasakan.
Mengenal
peta setidaknya dapat memperkuat insting seseorang untuk mengetahui arah mata
angin di mana pun ia berada. Sehingga misalnya sedang tersesat di jalan pun terkadang mereka dapat
menemukan jalan keluar. Sepertinya inilah salah satu hal yang membedakan antara
orang-orang produk didikan zaman sekarang dengan zaman-zaman sebelumnya.
Kalau
tidak percaya, coba deh sekali-kali
ketika Anda bertanya soal arah jalan kepada bapak-bapak ketika Anda tersesat.
Biasanya jawaban mereka sangat khas, “Oh lurus saja ke timur, trus ambil belokan yang ke arah ngidul (selatan- red.)” Yakin deh, setelah dengar jawaban itu, yang nanya langsung kebingungan mencari-cari mana
timur, mana barat, mana ngidul,
sambil bilang, “Mana kompas, mana kompas…” Boleh-boleh aja sekarang mereka
terbantu dengan teknologi GPS. Tapi yang namanya teknologi, tentu
tidak akan dapat diandalkan setiap saat.
Sampai
sekarang saya heran mengapa sekarang pelajaran itu secara khusus sudah tidak
ada lagi di sekolah umum. Meski tetap ada pelajaran IPS terpadu untuk SD dan
SMP, dan Geografi untuk SMA, materi membaca peta hanya ada secuil.
Saya
geregetan waktu ada salah seorang
siswa kelas XII SMA bertanya, “Pak, Mexico itu di benua Afrika ya?”
“Masa
kamu nggak tahu Mexico di mana? Coba
kamu lihat peta di dinding sebelah kanan kamu!”
“Oh
ini dia ya pak, ketemu.” Jawabnya dengan muka puas. Saya juga senang dia bisa
menemukan Mexico di peta, hingga akhirnya rasa senang saya berubah menjadi
prihatin kembali saat dia bilang,
“Bener
kan Pak berarti Mexico ada di Benua Afrika?” tetap dengan muka tetap merasa
puas.
Masalah
tidak sampai di situ. Sewaktu upacara pramuka, biasanya siswa-siswa berbaris di
lapangan dengan rapih layaknya barisan tentara. Tapi barisan yang rapih itu serentak
bisa menjadi amburadul ketika pemimpin barisan memberikan sebuah aba-aba, “Balik
kanaaaan gerak!”. Tiba-tiba, satu
buah aba-aba itu seolah menghasilkan
banyak tindakan karena beberapa di antara mereka nyatanya ada yang menghadap ke
kiri, berbalik ke kiri, atau menghadap kanan. Ada juga yang akhirnya bisa balik
kanan setelah terlebih dahulu melihat kedua tangannya untuk memastikan mana
kanan dan mana kiri. Selebihnya, ada yang hanya diam karena tidak berani
memutuskan mana arah kanan dan mana arah kiri yang sebenarnya.
Untungnya
di pelajaran Bahasa Indonesia ada salah satu materi tentang cara memberikan
petunjuk arah berdasarkan info pada peta atau denah dengan bahasa yang tepat.
Dari nama materinya, pasti sudah cukup target kompetensi yang harus dicapai siswa.
Tapi bagi saya, manfaat tersirat dari pembelajaran ini adalah agar nantinya
kalau di jalan siswa-siswa saya tidak tersesat atau membuat orang lain
tersesat.
Mengawali
materi tersebut, siswa-siswa saya giring ke sebuah ruangan multimedia. Mereka
saya perlihatkan sebuah peta yang langsung diakses via Google Map. Seperti dugaan saya, beberapa di antara mereka ternyata
lebih familiar melihat peta via Google
ketimbang lewat buku Atlas. Kemudian mereka dipersilahkan untuk mencari sebuah
lokasi strategis dekat tempat tinggal mereka yang paling mereka ketahui lewat Google Map. Setelah itu, mereka harus menjelaskan
secara tertulis petunjuk mengenai cara menuju ke rumahnya dari tempat strategis
tersebut berdasarkan peta. Hasil tulisan mereka kemudian saling ditukarkankepada
teman sebangku.
Ternyata
mereka antuasias. Mungkin karena mereka menganggap kegiatan belajar saat itu
lebih mirip permainan teori mencari jejak dengan membaca peta ala petualangan
Dora. Dan setelah 15 menit, inilah hasil yang dicapai oleh 12 siswa di kelas
itu: 8 siswa yang kemungkinan tidak tersesat dan sampai tujuan dan 4 siswa yang
kemungkinan tersesat alias bakalan nyasar
dijalan. Dari jumlah siswa yang berhasil sepertinya tujuan pembelajaran ini
telah tercapai dengan bagus. Tapi tunggu dulu!
Dari
empat siswa yang kemungkinan akan tersesat, kecenderungannya adalah karena mereka
salah memahami arah mata angin, arah kanan, dan kiri ketika menerjemahkan peta
yang terpampang di layar proyektor. Misalnya, rute dari arah utara menuju timur
seharusnya dibahasakan dengan belok kiri, malah ditulis dengan belok kanan,
mengikuti posisi tangan kanannya yang berlawanan dengan peta. Ketidaktahuan
arah ini yang kemudian berakibat menyesatkan siswa lainnya.
Sementara
itu, dari 8 orang yang kemungkinan tidak tersesat, ternyata hanya 4 orang
memang benar-benar mampu memahami dan menggunakan bahasa petunjuk dengan baik
dan benar. Sisanya, mereka ternyata punya cara sendiri untuk menuliskan atau
pun memahaminya. Seperti yang ditulis oleh salah satu siswa berikut ini:
“Untuk
menuju ke rumah saya dari Pasar Induk , kamu tinggal naik angkot nomer M35.
Lalu bilang aja ke supirnya untuk
berhenti di Pos Polisi. Rumah saya ada di seberangnya.
Ada
juga siswa yang sebenarnya nyaris berpotensi nyasar ketika mempraktikkan
petunjuk tulisan temannya sambil melihat peta. Ia sangat sulit sekali memahami
bahasa petunjuk milik temannya yang sebenarnya sudah tertulis dengan bahasa
yang sangat baik. Di sana tertulis barat, ia malah mengarah ke timur. Tertulis
belok kanan, ia malah ke kiri. Tapi sebelum dipastikan akan nyasar, siswa
tersebut tiba-tiba bilang,
“Ah,
saya tahu tempat ini. Pokoknya kalau mau ke rumah kamu patokannya supermarket
ini aja. Nanti saya tinggal tanya ke
satpam atau tukang ojek. Beres kan?”
Itu belum seberapa “kretaif”. Ada juga yang
sebenarnya tidak menulis karena bingung mau menulis apa. Ketika saya tanya,
siswa itu cuma memberi jawaban singkat.
“Biasanya
kalau ada teman yang mau ke rumah, saya suruh sopir saya yang jemput Pak.
Karena rumah saya itu ribet, banyak belokan,” begitu jawabnya.
“Lho
kalau giliran kamu yang tersesat bagaimana?” kata saya menguji argumennya.
“Nggak mungkin lha Pak, kan saya diantar sopir juga, lagipula
mobil saya ada GPS-nya lho.”
Ya…ya…
ya… jadi kesimpulannya, dengan ini sasaran pembelajaran untuk siswa kelas VIII
SMP ini belum tercapai. Sepertinya mereka perlu jam terbang yang banyak untuk
berlatih membaca peta. Beberapa hari kemudian ketika giliran mengajar di kelas
IV SD saya terpikir untuk memberikan mereka permainan mencari harta karun
dengan membaca peta berupa denah sekolah yang saya buat dengan beberapa bahasa
petunjuk. Mereka senang bukan main.
Alhasil, setiap saya masuk kelas, mereka menagih, “Pak ayo kita main
petualangan Dora lagi!”
Baiklah, semoga dengan berlatih membaca peta
buta di usia muda, kelak mereka tidak akan mengalami buta arah ketika dewasa.