Friday, June 15, 2012

Menanamkan Rasa Takut

Salah satu yang menjadi kehawatiran saya terhadap anak-anak zaman sekarang adalah mereka seolah tidak punya rasa takut. Dalam hal tertentu itu mungkin bagus, seperti tidak takut tikus atau kecoa. Sudah pasti anak seperti itu pasti jadi andalan orang tuanya untuk memburu tikus dan kecoa di dapur.

Tapi untuk beberapa hal yang lain, ketidakpunyaan rasa takut itu efeknya sungguh sangat tidak baik. Padahal, rasa takut itu sebenarnya bisa menjadi salah satu kontrol bagi setiap orang dalam melakukan sebuah tindakan. Nah, kalau tindakan yang dilakukan cenderung menyimpang, maka rasa takut itu sesungguhnya penting bukan.

Idealnya sih, dalam mengontrol segala tindakan menyimpang itu cukup satu hal yang perlu ditakuti, yaitu Tuhan. Tapi dalam konteks mendidik anak sekolah usia SD atau SMP yag terbilang labil, tidaklah mudah menanamkan rasa takut terhadap Allah dalam diri mereka karena itu terkait dengan seberapa kuat iman yang tertanam. *eh tapi kalo soal itu kayaknya sihberlaku juga buat anak dewasa deh.

Terhadap anak saya yang berumur 3 tahun, setiap kali dia menanyakan alasan saya melarang tindakannya yang tidak baik, awalnya saya selalu menjawab, “Nanti dimarahin Allah”. Tapi belakangan saya dan istri khawatir, keseringan memberikan jawaban itu justru akan membuatnya memiliki konsep pemahaman bahwa Allah itu galak, dan suka marah-marah. Padahal, Allah itu harus dicintai bukan.

Jawaban untuk itu pun kini saya balik, “Allah itu senang sama anak yang berbuat baik. Kalau kita berbuat yang baik, Allah akan memberikan kita sehat dan rezeki yang banyak”. (Sambil berharap semoga saja jawaban ini lebih baik setidaknya dari jawaban sebelumnya)

Namun, ketika sekarang frekuensi bertanya anak saya ini makin kritis lagi, bahkan sudah mengarah ke logika, saya mulai “memperkenalkannya” dengan konsekuensi, alias akibat. Misalnya, kalau memegang setrikaan tentu saja akibatnya tangan melepuh, tidak mau mandi akibatnya badan akan bau dan gatal-gatal, akibat tidak mau gosok gigi adalah ya sakit gigi. Ketika dia merasakan sendiri akibat itu, maka tentu ia tidak akan mengulangi tindakannya tadi.

Tapi ada juga beberapa tindakan jelek yang memiliki konsekuensi yang belum bisa dipahami. Untuk beberapa tindakan itu biasanya saya katakan, “Kalau kamu lakukan itu, Papa akan marah.” Ia memang paling tidak mau kalau papanya marah. Ia pun langsung takut walau sebenarnya saya tidak mau seperti itu terus.

Begitupun  halnya dengan siswa saya di sekolah baik yang tingkat SD hingga SMA. Setidaknya ada tiga hal yang mampu mengontrol tindakan mereka. Ketiganya terkait dengan rasa takut itu.

Pertama ada siswa yang benar-benar menghindari tindakan buruk karena takut dosa. Ini hubungannya tentu dengan rasa takut kepada Tuhan yang kuncinya adalah kualitas iman yang tertanam pada diri mereka masing-masing. Kedua, bisanya karena mereka takut dengan ancaman sanksi dari sekolah. Dan yang ketiga, biasanya siswa yang sudah pernah merasakan sanksi itu dan merasakan kapok.

Dari tiga tipikal itu, sebenarnya yang paling banyak  saya jumpai sih yang kedua. Untuk tipikal yang pertama di sekolah-sekolah umum jaman sekarang susah. coba deh, pasti jarang nemu anak yang takut ama dosa. Mereka lebih takut dengan sanksi nyata yang bisa mereka lihat atau rasakan sendiri.

Setidaknya saya pernah mengamati beberapa kasus yang membuktikan hal tersebut. Salah satu siswa SMA ada yang tidak pernah kapok melakukan bullying kepada temanya meskipun ia sudah tahu kalau tindakannya itu berdosa. Namun ia tidak lagi melakukan itu setelah ia merasakan sendiri konsekuensi yang diterimanya: dijauhi seluruh siswa.

Begitu juga dengan kasus menyontek. Sampai berbusa-busa mulut ini menjelaskan kepada mereka bahwa menyontek itu awal dari ketidakjujuran dan hukumnya DOSA. Efeknya, cuma sekali dua kali ampuh mereka tahan tidak nyontek. Selanjutnya, ya terulang lagi. Namun begitu dipertegas bahwa barang siapa yang menyontek kertas ulangannya akan disobek dan diberikan nilai nol, dan ada salah seorang siswa yang mengalaminya, mereka semua kapok.

Bahkan memahami konsekuensi saja tidak cukup efektif jika belum merasakannya. Ada seorang siswa SMP yang beberapa kali sudah diberi peringatan menyangkut nilai akademiknya yang berpotensi untuk tidak naik kelas, ia hanya cuek meskipun saya tahu  secara akademik otaknya mampu untuk megatasi itu. Dan setelah konsekuensi itu benar-benar ia rasakan, alias dia tidak naik kelas, ia menangis meraung-raung dan menyesalinya.

Tapi di antara ketiga tipikal itu, ada yang lebih parah. Dan ini yang saya khawatirkan seperti di awal tadi. Ada anak yang benar-benar tidak punya rasa takut sama sekali terhadap apapun. Jangankan kata dosa, diancam sanksi berat pun dia bergeming. Puncaknya, ketika sanksi itu benar-benar diberikan, saya dan beberapa rekan guru berpikir ia akan benar-benar kapok dan berubah. Ternyata tidak sama sekali. Padahal sanksi itu adalah tinggal kelas untuk yang kesekian kali.

Friday, June 8, 2012

Berpacu dalammmmm Melodi…!

Bermultitalenta itu wajib hukumnya bagi setiap guru yang mau mengajar di sekolah ini. Dan tahukah Anda, bahwa multitalenta yang dimaksud itu ya dalam arti yang seluaaaaaaas-luasnya. Kalau diterjemahkan secara bebas maksudnya adalah disuruh apa aja bisa mau. Tidak terkecuali menginfal kelas alias gantiin guru yang tidak masuk atau memang sama sekali tidak ada karena keterbatasan guru.

Soal infal-menginfal sebenarnya sih sudah biasa dilakukan oleh guru-guru di sekolah manapun, tapi biasanya hanya menjaga asal kelas tidak kosong. Misalnya kalau ada guru fisika yang tidak masuk, biasanya ia memberikan tugas kepada guru piket yang menginfal.

Tapi di sini, guru Fisika saja terpaksa harus bisa juga ngajar olahraga. Guru Kimia rangkap jabatan jadi guru Bahasa Indonesia dan Geografi. Guru IPA jago ngajar Seni Musik. Pelajaran Bahasa Inggris di-handle juga lho sama guru Biologi. Guru Bahasa Inggris juga mengajar Pendidikan Kewarganegaraan. Hebat kan? Hehehehe…

Beruntungnya saya, karena jam Bahasa Indonesia itu paling banyak jadi tidak harus mengajar bidang studi lain, tetapi tetap harus siap kalau sewaktu-waktu diminta menginfal pelajaran lain.

Dan… deng-deng-deng… kena juga deh giliran saya yang terpaksa kudu ngajar Seni Musik kelas V SD lantaran gurunya ikut penataran.

“Pak kenapa bawa-bawa gitar, biasanya kita belajar nyanyi pake piano?”

“Kalau mau jadi penyanyi hebat, kamu harus bisa menyanyi diiringi alat musik apapun.” *ngeles... padahal emang nggak bisa main piano

Trus kita ngapain sekarang Pak?”

“Hari ini Bapak akan menguji kemampuan kalian dalam mengenal lagu-lagu dengan permainan Berpacu dalammmm Melodi.” * tararaaaaamm… bergaya ala Koes Hendratmo

“Apaan tuh Pak?” *Jiaaah… gue lupa, mana tau mereka kuis era 80-90’an. ketahuan kan kalo gurunya jadul

“Kita akan bermain tebak-tebakan lagu”

“Horeeeee!”

Anehnya anak-anak bisa langsung paham dengan mengelompokkan diri dalam regu yang masing-masing terdiri dari 3 orang ala klompencapir cerdas ceramat *masih ketahuan jadulnya kan.

Tapi biar tidak terlihat jadul dan lebih menonjolkan musikalitas mereka, setiap regu tidak menggunakan bel, tetapi mereka harus bersenandung dangan nada solmisasi kalau ingin menjawab pertanyaan.

Regu A : “do- re- mi”
Regu B : “do- mi- sol”
Regu C : “la- sol- fa”

Permainan ini dibagi ke dalam dua babak. Babak pertama menebak judul lagu yang dimainkan lewat petikan gitar dan babak kedua meneruskan lirik lagu yang dinyanyikan. Permainannya menggunakan sistem rebutan, tanpa pengurangan nilai. Lagu-lagu yang diujikan adalah lagu daerah dan lagu wajib nasional.

Sudah 7 jawaban terlempar di babak  I, tapi 3 jawaban tidak bisa di jawab dengan tepat, dan sisanya dicuekin karena mereka tidak tahu. Tidak heran mereka pun langsung protes.

“Yah Bapak, jangan lagu-lagu yang begituan melulu dong,” kata juru bicara regu A
“Iya Pak, masa lagu-lagu jaman perang terus. Itu kan udah sering dinyanyiin waktu upacara. Norak!” juru bicara regu B menimpali. *saya bilangin sama penciptanya lho.

“Ganti lagu barat dong Pak. Lagunya Adele atau Bruno Mars gitu, pasti kita bisa jawab,”kata juru bicara regu C mengakhiri protes.

Kalau mereka tahu koleksi lagu di MP3 player gurunya itu lagu-lagu klasik rok tahun 80-90’an semua, nggak bakalan deh request lagu-lagu begituan. Mereka pasti yakin kalau gurunya nggak mungkin tahu & bisa mainin lagu Adele atau Bruno Mars.

“Nak, kalian semua ini adalah generasi penerus bangsa. Kalau bukan kalian, siapa lagi yang nantinya akan melestarikan lagu-lagu nasional warisan bangsa kita,” jawab saya. *ngeles maning

Tibalah babak II. Untuk babak yang hanya mengharuskan siswa meneruskan lirik ini, saya sengaja menyanyikan potongan lirik dari bagian reffrain-nya supaya mereka kenal. Terbukti, 9 soal habis dilahap: 2 untuk regu A, 3 untuk regu B, 3 untuk regu C dan  1 milik dewan juri. *padahal sih ga ada jurinya

Tibalah soal terakhir.

“Teruskanlah lirik berikut ini : Kuraut dan kutimbang dengan benang…..,” senandung saya dengan penuh semangat menyanyikan potongan lagu Bermain Layang-Layang ciptaan M. Yusuf.

“La- sol- fa,” teriak juru bicara regu C dengan nada yang sebenarnya terdengar seperti do- mi- sol .

“Iya silalakan regu C!,” suara saya makin semangat lantaran setelah ini tugas saya sebagai guru musik jadi-jadian selesai sudah.

“Den Takana Jo Kampuang,” sahut juru bicara regu C sambil merasakan aura kemenangan setelah percaya diri meneruskan lirik lagu tersebut dengan lagu Kampuang Nan Jauh di Mato.

*onde mande …!!

Thursday, June 7, 2012

Momentum

Sadar atau tidak, ada satu kebiasaan yang sering kali diabaikan guru di sekolah-sekolah umum –dan menurut saya ini sebuah kesalahan-, yaitu ketika melihat seorang siswa laki-laki yang selalu senang berkelompok dengan siswa putri (dan juga sebaliknya). Biasanya situasi ini dapat jelas dijumpai pada saat sebelum masuk kelas, jam sitirahat, atau pun jam pulang sekolah.

Di sisi lain, sadar atau tidak, kalau kata “homo” (merujuk ke kata  “homoseksual”) kini sudah menjadi salah satu kosa kata yang dikuasai siswa-siswa kelas 2 SD.

Saya pernah dibuat shock oleh salah seorang siswa laki-laki kelas 2 SD. Itu terjadi ketika secara spontan saya mencubit gemas pipinya yang tembem sambil menasihati untuk mengikat tali sepatunya. Tiba-tiba dengan spontan anak itu bilang,

“Idih Bapak homo.”

“Emang homo itu artinya apa?” tanya saya.

“Ya suka sama laki-laki, alias gay.” *alamak nambah lagi kosa katanya.

Pertanyaan saya, dari mana anak seusia itu tahu kata-kata itu? Lalu sejauh mana pengetahuan anak itu terhadap homoseksualitas?

Kebetulan topik ini lagi anget-angetnya diperdebatkan oleh kalangan LSM dan juga kaum feminis. Kalau mau bahas soal homoseksual, ujung-ujungnya pasti akan sampai pada pertentangan antara pendapat yang menganggap homoseksual sebagai penyakit sosial dan pendapat yang menganggap homoseksial sebagai kodrat lahiriah yang tidak bisa ditentang. Contohnya seperti yang belakangan dikumandangkan oleh kaum feminis yang menyatakan bahwa lesbian ibarat pencapaian tertinggi seorang feminis. Sebab perempuan tidak lagi bergantung pada laki-laki untuk mendapatkan kepuasan seksual.

Nah, kalau pendapat saya sih homoseksual itu tetap tergolong penyimpangan orientasi seksual. Ajaran agama yang saya yakini pun melarang hal itu. Kalau tidak, lalu apakah ada alasan lain Allah memusnahkan kaum Nabi Luth?

Tapi itu bukan berarti saya akan mengucilkan, menjauhi atupun menolak segala pemikiran mereka yang telah terlanjur “terjerumus” dalam homoseksualitas itu. Namun, sebagai guru saya merasa punya tanggung jawab moral untuk mencegah anak didik saya terjerumus dalam kehidupan itu.

Saya yakin ada satu momentum dalam setiap rentang kehidupan manusia yang akan menentukan arah orientasi seksual mereka. Momentum itu bisa muncul sejak kecil. Di sinilah peran penting orang tua dan guru untuk mengarahkan anak agar mereka tidak “berbelok” ke orientasi yang salah ketika berada pada momentum itu.

Makanya saya tidak bisa cuek kalau melihat ada seorang siswa laki-laki yang setiap saat selalu nyaman bergabung bermain bersama kelompok siswa perempuan (dan sebaliknya). Menurut saya inilah salah satu  momentum yang saya maksud tadi.

Kebetulan pada suatu hari, untuk menggantikan guru olahraga yang absen, saya mendapat giliran mengajar penjaskes di kelas siswa “laki-laki” itu (sebut saja namanya Adrian). Seperti pelajaran penjaskes yang biasanya dilakukan, saya mengelompokkan mereka berdasarkan siswa laki-laki dan siswa perempuan. Siswa laki-laki tentu saya beri kegiatan bermain sepak bola, sementara siswa perempuan permainan lompat tali.

Seketika itu, Adrian mojok di sudut lapangan dan menolak bergabung bermain bola dengan siswa laki-laki lainnya.

“Kenapa Adrian?” tanya saya.

“Saya tidak bisa main bola Pak.”

“Temanmu yang lain juga tidak semuanya bisa main bola. Yang penting kamu ikut berlari agar badanmu sehat. Lama-lama pasti terbiasa dan bisa.”

“Saya tidak suka dengan mereka Pak.”

“Kenapa? Mereka memusuhi kamu?”

“Mereka sepertinya tidak ada yang mau main dengan saya Pak.”

Lalu saya mengumpulkan seluruh siswa laki-laki yang sedang bermain bola.

“Dengar, di sekolah ini kita semua adalah keluarga. Maka jangan ada di anatara kalian yang saling mengucilkan temannya. Apakah kalian mau kalau kalian yang dikucilkan?”

“Tidak Paaaaak.”

“Kalau begitu, bermainlah bersama-sama. Jangan pilih-pilih teman!”

“Kita mau-mau aja kok Pak. Tapi, emang dia kali Pak yang nggak mau gabung,” celetuk salah seorang siswa laki-laki.

“Adrian, kamu dengar kan? Mereka mau kok bermain dengan kamu. Sekarang begabunglah main dengan mereka!”

Adrian akhirnya bergabung. Tetapi ternyata itu tidak berlangsung lama karena 10 menit setelah itu, tanpa saya sadari tiba-tiba ia sudah berada dalam kelompok siswa perempuan sedang bermain lompat tali.

Sekali lagi, ini adalah momentum dan saya harus mengarahkannya dengan cara yang halus. Kali ini seluruh siswa laki-laki maupun perempuan saya kumpulkan.

“Anak-anak sekarang saatnya bergantian. Siswa laki-laki bermain lompat tali, dan siswa perempuan bermain bola.”

“Yaah Bapak, itu kan permainan anak cewek”, kata siswa laki-laki.

“Tau nih Bapak, masak kita anak cewek main bola.” balas siswa perempuan.

“Lho kalian belum tahu sih, sekarang ini kan sudah ada kejuaraan dunia sepakbola puteri. Walaupun yang main itu perempuan, permainan mereka tidak kalah hebat lho dengan tim sepakbola laki-laki.”

Sontak muka-muka sumringah para siswa perempuan seolah merasa ada sesuatu kebanggaan baru yang mewakili gender-nya. Dan kepada siswa laki-laki saya katakana,

“Lompat tali itu sangat bagus untuk melatih kemampuan melompat kalian agar menjadi lebih baik. Kalian kenal pebasket terkenal asal Amerika bernama Michael Jordan?” *kalau nggak kenal silahkan googling  

“Horeee!” sambut seluruh siswa laki-laki kecuali Adrian.

Sekenario ini pun berjalan mulus hingga akhirnya 15 menit berselang –dan lagi-lagi luput dari perhatian saya– saya melihat Adrian mengambilkan bola hasil tendangan siswa perempuan yang menyasar kepadanya. Pikir saya ia hanya membantu mengambilkan. Tapi ternyata setelah itu ia menggiring bola itu dengan lihainya, menggocek siswa perempuan yang dilaluinya, dan gooool. Ia pun sukses menyarangkan bola itu ke gawang lawan. Semua siswa perempuan bersorak dan tidak canggung untuk memeluk Adrian.

Semoga ini bukan momentum yang membuat Adrian "berbelok". *garuk-garuk kepala


Nenek Moyangku Orang Pedagang


Nenek moyangku bukan pelaut melainkan pedagang
Dari ujung merauke hingga ujung sabang
Usaha nenek moyangku tersebar di berbagai bidang

Konon, barang paling laris di pasaran adalah kursi
Harganya pun bervariasi,
dari yang mahal, menengah, hingga termurah
Tergantung, lokasi, posisi, kenyamanan dan daya tahan,

Kursi berlabel KEKUASAAN harganya selangit
Untuk membelinya pun harus bersaing sengit
Butuh kekuatan relasi dan kelihaian lobi melobi,
jika ingin kursi benar-benar bisa diduduki

Soal  kenyamanan, dijamin 5 tahun bisa tahan
Kalau toh setahun-dua tahun terasa goyang
bukan lantaran kursi tidak sesuai dengan pesanan
tapi bisa jadi, karena si pembeli khilaf bayar retribusi.

Kursi macam ini ada di sejumlah galeri bergengsi
Seperti di gedung dewan, kantor gubernur, hingga  bupati

Di level harga menengah sampai yang termurah,
kursi dijualbelikan hingga ke sekolah
Kalau mau kursi model ini caranya gampang  
Prinsipnya ada uang ada barang
Tak masalah berapapun nilai rapor atau ijazah
Kalau tak punya uang terpaksa pasrah
mengharap hibah dari pemerintah : kursi reot atau duduk di atas tikar basah.

Produk dagang nenek moyangku tidak cuma barang
Aneka produk layanan jasa juga ditawarkan
Dari yang aman hingga yang berisiko tinggi
Dengan transaksi terbuka ataupun sembunyi-sembunyi

Lewat usahanya, segala proses layanan jasa bisa mudah dan cepat
Dari pembuatan KTP, SIM, Paspor, aneka surat dan sertifikat
Syaratnya hanya butuh keluar fulus tanpa keluar keringat

Tersedia juga paket REMISI, GRASI, & AMNESTI
Pelanggannya tak lain koruptor kalangan pejabat dan konglomerat berdasi
Vonis penjara selama tahunan bisa disulap menjadi hitungan bulan
Plus bonus fasilitas ala kamar hotel bintang lima di dalam kurungan

Itulah nenek moyangku, seorang pedagang
Usahanya langgeng dari dulu, sekarang, hingga mendatang
Kecuali jikalau saatnya azab Tuhan menjelang

Sing :
Nenek moyangku orang pedagang
Usahanya maju di mana-mana
Slalu halalkan segala cara
Diazab tuhan baru tau rasa

Kaos Kaki Kevin

Tidak biasanya, Kevin, siswa kelas VI SD yang sehari-harinya selalu ceria, pagi itu terlihat murung. Berdasarkan pengalaman *jadi guru juga baru 5 taun udah sok berpengalaman* kita harus hati-hati menghadapi anak yang mengalami perubahan sikap dalam sekejap. Kita nggak bisa secara tiba-tiba bertanya “kenapa”. Karena perubahan sikap yang tidak lazim secara tiba-tiba itu biasanya pasti dipengaruhi oleh masalah yang besar dan kompleks sehingga jelas butuh proses bagi si anak untuk mau menjelaskan penyebabnya.

Biasanya kalau guru yang sudah berpengalaman *sekali lagi tidak merujuk ke saya lho ya* kala menjumpai siswanya yang tiba-tiba seperti itu, dia pasti tidak langsung bertanya “kenapa”. Karena toh percuma pasti sia anak tidak akan langsung menjawab. Kecuali kalau hubungan emosional si anak dengan gurunya sangat dekat, paling tidak biasanya si anak yang akan bicara duluan.

“Bu, saya mau curhat.” *sambil nunggu timing air mata yang ngumpul di kelopak matanya tumpah.

 Lantas Bu Guru itu pasti membalas, “Lho kamu kenapa? Yuk kita ngomong di ruangan Ibu!”

Sebaliknya, kalau si anak itu memiliki hubungan emosional yang nggak dekat, karena si anak sungkan sama gurunya atau mungkin ya memang nggak dekat *masa mau dipaksa-paksain buat deket* biasanya gurunya yang nyamperin.

“Kamu, habis pelajaran ini ke ruangan saya ya!” dengan nada horor. *sebenarnya ini pengalaman pribadi waktu masih berstatus murid, hiks…

Karena itu saudara-saudara, saya tidak mau menirukan perlakuan guru saya itu terhadap Kevin yang duduk tepat dihadapan saya. Maka ya saya diam saja sambil rada-rada kepo menanyakan masalah Kevin ke teman yang duduk di belakangnya.

Ini trik dari saya sudara-saudara *sombong. Kalau mau Knowing Every Particular Object alias kepo soal tingkah laku aneh pada salah seorang siswa Anda, bertanyalah kepada guru BK teman-temannya.

Ini fakta loh, biasanya anak lebih terbuka sama teman-temannya dari pada sama guru BK, kecuali kalau guru BK di sekolahnya asyik dan kooperatif (dalam arti positif). Sementara tidak semua sekolah yang punya guru BK yang seperti itu. Tapi kalau mencari teman yang asyik, di setiap sekolah pasti ada. Dan di sini kuncinya, teman yang asyik belum tentu bisa tahan untuk menjaga rahasia. Apalagi terhadap gurunya. Jadi dengan sedikit bujukan pasti temannya akan buka mulut diakhiri dengan footnote :

“Tapi Bapak jangan bilang-bilang kalau ini dari saya ya!”

Hehehehe keren kan. Tapi sejauhmanakah metode ini berhasil diterapkan untuk mencari tahu penyebab murungnya si Kevin? Jawabannya : tidak sama sekali membantu saudara-saudara.

Namun tidak berselang 5 menit jawaban itu datang dengan sendirinya lewat Bu Ani, staf tata usaha sekolah yang tiba-tiba minta izin masuk ke kelas.

“Kevin, ini kaos kakimu yang baru ya.”

“Lalu kaos kaki yang punya saya mana Bu?” kata Kevin dengan suara bergetar.

“Ibu minta maaf, yang lama pun sudah hilang. Tak mungkin lah dicari. Sudah lah, kan sudah diganti yang baru dan lebih bagus,” jawab Bu Ani sambil meninggalkan kelas.

Tangis Kevin pun tak bisa lagi ditahan. Teman-temannya saling celingangk-celinguk heran. Ealaaah pantesan trik saya nggak berhasil, lha wong teman-temannya saja nggak tahu apalagi saya.

“Sudahlah Kevin kamu tidak usah sedih. Kita harus mengikhlaskan apapun milik kita yang hilang. Allah juga janji akan memberikan ganti yang lebih baik apabila kita ikhlas. Dan terbuktikan sekarang kamu sudah mendapatkan ganti kaos kaki yang baru dan lebih bagus.”

Kevin tetap menangis sambil menundukkan kepalanya di atas meja. Tangisnya semakin kencang. Namun, tiba-tiba ia mengangkat kepalanya. Dengan mata yang bengkak dan berderai air mata, Kevin menatap saya.
  
“Biar butut, itu kaos kaki hadiah dari nenek saya Pak. Saya sudah menyia-nyiakan pemberian nenek saya.”

Byarrrr… seketika teman-temannya yang awalnya kasak-kusuk kepo, jadi ada yang mulai ikutan mewek.

“Kamu tidak usah berpikir bahwa kamu telah menyia-nyiakan pemberian dari nenek kamu Kevin. Nenek kamu pun pasti tidak akan marah kalau tahu hal ini. Toh ia juga pasti tahu kalau kamu sedih kehilangan kaos kaki pemberiannya. Percaya deh sama Bapak.”

“Iya Pak, nenek saya memang tidak akan marah. Tapi pasti papa saya yang akan marah,” volume tangisnya tambah kencang.

“Lho kenapa? Itu bukan kesalahan kamu Kevin. Toh bukan kamu yang menghilangkan kaos kakimu. Orang tua kamu tentu tidak akan memarahi kamu. Apalagi Bapak yakin mereka tahu kalau kamu sangat menghargai pemberian orang.”

“Bapak nggak tahu gimana papa saya sih. Kalau saya telat mandi satu menit saja langsung ditedang. Kalau papa saya bertengkar dengan mama, saya yang jadi sasaran dilempar asbak,” jawab Kevin setengah berbisik seolah ingin segera membungkam gurunya yang sok tahu.

Dan ini yang akhirnya saya lakukan biar nggak ketahuan speechless:

“Anak-anak, hari ini Kevin telah memberikan kita sebuah contoh yang baik tentang bagaimana seharusnya kita menghargai pemberian orang lain. Selama ini tanpa disadari kalian ada yang masih tidak menjaga barang-barang milik kalian di sekolah. Padahal kalian tahu kan bahwa barang-barang itu adalah pemberian orang tua kalian. Jadi mulai sekarang jagalah barang milik kalian masing-masing.” *kalimat terakhir sepertinya salah fokus nih.

Wednesday, June 6, 2012

Yang Digugu Yang Ditiru


Guru, lihatlah siswa-siswamu dulu di masa kini
Mereka telah berhasil menjadi orang besar karena didikanmu
Mereka ada di mana-mana, tersebar dalam beragam profesi
Melanglang buana ke berbagai negara berbekal ilmu dan bimbinganmu dulu

Guru, tak heran jika kaisar negeri yang pernah menjajah bangsa ini resah
Mempertanyakan nasib orang-orang sepertimu tatkala negerinya luluh lantah
Sang kaisar sudah tentu paham benar, melalui jasamu lah Jepang akan bangkit kembali
Menjadi negara maju akan peradaban dan teknologi, dan macan asia yang disegani.

Jauh berbeda dengan negeri ini
Sang pemimpin hanya sibuk mengurusi pencitraan diri
Tidak lagi sadar bahwa hakikat dasar pendidikan seseungguhnya telah dikebiri
Bangku sekolah hanya bisa dibeli dengan penawaran harga tinggi
Sekolah laksana pabrik pencetak robot yang ambisius meraup fulus
Profesi guru dihargai, namun hanya untuk alat proyek bernama sertifikasi

Guru, lihatlah seperti apa siswa-siswamu dulu di masa kini
Merekalah di antaranya yang mengisi kursi-kursi kekuasaan di negeri ini
Siswamu yang dulu sangat menggandrungi matematika
Kini menjadi begitu kreatif mengutak-atik angka-angka neraca anggaran milik negara
Mengkombinasikan rumus-rumus hingga sedemikian rupa
Mencari hasil digit angka yang besar untuk masuk ke kantong pribadi mereka

Ingatkah siswamu yang dulu tak pernah mebolos dan tekun tatkala belajar agama?
Kini mereka sangat lantang mengumandangkan takbir di mana-mana
Menyebarkan berdakwah dan melancarkan berjihad
Berbalut teror dan anarkisme yang mengorbankan nyawa umat

Di titik ekstrim yang lain ada di antara mereka yang gemar mengkaji kitab suci
Mengutip ayat demi ayat untuk membuat penafsiran atas logikanya sendiri
Mengatasnamakan pluralisme namun menyamaratakan sesuatu yang prinsipiil
Hingga mengkritisi sesuatu yang hak dan membuat pembenaran atas yang batil

Guru, banyak pula siswamu dulu yang mumpuni di bidang studi bahasa
Tahukah engkau kalau kini mereka banyak yang menjadi politisi ternama
Mereka kini sangat mahir menyusun kalimat propaganda
Menggiring masyarakat awam yang tak tahu apa-apa dengan janji-janji surga
Guna mendukung dan memuluskan kepentingan-kepentingan pribadi mereka

Ada pula yang berkarier hebat sebagai jaksa, hakim, dan pengacara
Yang sangat ciamik menafsirkan bahasa-bahasa hukum dalam rumusan undang-undang
Hingga pelaku korupsi yang jelas terbukti salah pun bisa divonis bebas melenggang

Guru, siswamu dulu juga banyak yang menggemari ilmu eksakta
Karena konon katanya ilmu itu bisa membuat mereka laku di dunia kerja
Mendukung mereka meraih cita-cita sebagai insinyur, dokter, arsitek, atau pengusaha
Hampir tak ada di antaranya yang bercita-cita menjadi guru sepertimu
Karena dihantui dengan kekhawatiran akan masa depan yang kelabu

Terima kasih Guru,
Engkau tetaplah pahlawan bagi mereka yang belum tahu cara membalas jasa


Diskusi Meja Makan

Nggak tahu kenapa, dari dulu meja makan itu sering menjadi saksi bisu dari sekian banyak diskusi penting yg saya alami. Berikut beberapa cuplikannya:

SCENE 1 : MEJA MAKAN DI RUMAH

Malam itu kebetulan kami membahas soal biaya pendidikan. *sebenernya sih ngomongin investasi keluarga.

Istri membuka percakapan, “Pendidikan itu sekarang mahal Mas. Itu udah jadi kenyataan pasti yang nggak bisa lagi ditawar-tawar dan diprotes, *sambil ngelirik ke saya yang emang hobinya protes melulu ke pemerintah* jadi mau nggak mau harus kita hadapi nanti. Dengerin nih ya, kata salah satu temen ngeblog aku, dia itu salah seorang  Financial Planer, aku sering baca tulisan blognya tentang financial gitu…..

“Iya terus intinya si Financial Planer itu ngomong apa? Langsung aja kenapa sih bilang menurut Perencana Keuangan?” kata saya dalam hati.  *tapi nggak berani tega ngomong gitu   

“Biaya pendidikan setiap tahun akan naik 10%. Coba bayangin tahun ini aja biaya masuk SD sudah 17 juta, Kalau nanti anak kita 3 tahun lagi masuk sekolah, berapa coba?” Tanya istri setengah ngetes kemampuan matematika saya yang cetek . *padahal dia juga sama nggak jago ngitung

“Jadi nih ya, mau nggak mau kita tuh harus sudah punya persiapan dana dari sekarang. Kalau cuma dengan cara nabung dari hasil gaji kita berdua sekarang itu nggak mungkin ngejar target biaya penddikan buat Keisha sampe kuliah. Belum lagi kalau kita mau punya anak lagi. Kecuali, *di-caps lock, pake underline, bold dan italic * kalau Keisha kita sekolahin di sekolahan ecek-ecek, emang rela? Jadi, kita punya investasi yang menguntungkan.”

“Terus?”

“Nah aku udah buat catatan nih. Kalau kita investasi lewat reksadana itu keuntungannya bisa lebih besar daripada deposito, unit link, atau bahkan emas yang selama ini udah kita punya. Jadi hitungannya kalau dengan nabung secara normal untuk mengejar target biaya pendidikan Keisha dari mulai nanti SD sampai kuliah, per bulan kita harus nabung 500 ribu atau bahkan hamper jutaan per bulan. Sementara, dengan reksadana, kita hanya perlu investasi 200 ribu perbulan untuk itu dengan asumsi #@$^*&%(&*^)**&%&^%(*&….” papar marketing salah satu produk asuransi istri saya dengan cerdas dan taktis.

Begitulah cuplikannya. Kalau mau yang lengkap baca saja di buku saya “Diskusi Meja Makan” hehehe *ngayal

Seperti biasa kalau saya udah nggak mudeng,  lebih baik ya manggut-manggut  aja pura-pura ngerti daripada berani bertanya berantem di jalan lantaran ketahuan saya ini tulalit. Toh seiring berjalannya waktu nanti saya bakalan paham. *dengan googling pastinya


SCENE 2 : MEJA MAKAN KANTIN SEKOLAH

Lantaran ada salah satu orang tua siswa yang lagi sarapan di kantin, mau nggak mau ya saya duduk bareng dalam satu meja.

“Bagaimana Pak, putrinya sudah daftar ke SMA?” tanya saya soal perkembangan salah seorang siswa saya yang baru lulus SMP.

“Wah, ribet Pak.”

“Ribet gimana?”

“Nana saya nggak bisa masuk ke kelas RSBI (Rintisan Sekolah Bertarif Bertaraf Internasional –Red) di SMA d*****n Pak.”

“Lho kenapa?” tanya saya setengah kepo.

Jadi singkat cerita, konon ketika anaknya itu didaftarkan ke salah satu sekolah favorit di Jakarta dengan menyerahkan nomor ujian nasional (yang notabene nomor resmi yang dikeluarkan Diknas dan pastinya diakui secara nasional), nomor tersebut sudah terdaftar dengan nama orang lain.

Edan kan? Tapi saya sih nggak heran dengarnya, jangankan nomor peserta ujian, wong nomor identitas penduduk  Daftar Pemilih Tetap (DPD) buat Pilkada aja ada yang double bahkan triple. *naluri antipemerintahnya muncul.

Nah, konyolnya lagi, pihak sekolah menyuruh si ortu murid saya itu buat laporan ke Diknas. Dan yang lebih konyol lagi, kepala sekolah SMA itu menyarankan siswa untuk ikut ujian penyetaraan karena tidak terdaftar secara nasional.

Eh busyet. Jadi mereka pikir SMP siswa itu dari (alias sekolah tempat saya nyari nafkah –Red) dari negeri antah berantah? Mereka pikir siswa-siswa saya ikutan Ujian Nasional Pake kurikulum Bangsa Swahili? Jelas-jelas ada logo Kementrian Pendidikan Nasional di ijazah kelulusannya.

Sebagai guru siswa yang terzolimi, tentu saya tersinggung sudara-saudara. *lebay dikit*. Ucapan kepala sekolah tadi tidak saja melecehkan Kementrian Pendidikan Nasional sebagai pihak yang meluluskan siswa saya, tapi juga secara tidak langsung menutup mata terhadap keberadaan sekolah saya. Nggak tau apa enam bulan lalu saya lembur sampai malem selama seminggu sampe akhirnya sekolah saya mendapatkan akreditasi A dari Diknas, plus Sertifkasi ISO 9001 : 2008. *apa memang kalian nggak tau ya? Emang nggak dimuat di koran sih.

“Wah itu pelecehan Pak. Udah lapor ke Kepsek kita? kata saya.

“Udah Pak.” jawabnya enteng

“Trus?” kata saya kepo lagi.

Nggak ada itu ujian kesetaraan. Cuma mengada-ada itu kepala sekolahnya.
Intinya ini pak ini Pak, *ujung jempol dan telunjuk beradu-adu* DUIT. Kata si ortu murid menirukan ucapan Kepsek saya.

Saya melotot plus geleng-geleng kepala pura-pura kaget karena sebenernya udah biasa denger soal itu. Lalu saya tanya,

Emang berapa tuh biasanya?”

“Pengalaman teman saya tahun lalu, kalau SMA yang kualitasnya satu tingkat di bawah itu sih 39 juta,” kata si ortu murid enteng.

“HAAAAA!,” saya kaget beneran


SCENE 3 : SAMA SEPERTI SCENE 1

Saya : “Ma, ayo kita beli reksa dana!”

  

Siapa Sudi Berteman dengan Jin?

Sebuah lembaran kertas HVS bekas tertempel di salah satu sisi dinding pantry di sudut belakang ruang guru. Pada kertas itu tertulis sebuah pesan atau lebih tepatnya imbauan yang kurang lebih seperti ini redaksinya: “Mohon dengan sangat agar piring, gelas, garpu, dan sendok yang telah digunakan, dicuci kembali. Yang senang jorok dan kotor temannya jin”

Isi imbauan itu ditujukan kepada pengguna pantry yang notabene adalah para guru. Dan usut punya usut si penulis imbauan itu adalah salah seorang dari mereka yang selama ini merasa risih dengan kebiasaan beberapa rekannya yang kerap meninggalkan piring, gelas, sendok, dan atau garpu yang habis digunakan, dalam keadaan kotor dan tidak dicuci kembali. Ia tidak tahu secara pasti siapa pemilk kebiasaan yang dianggap jorok itu. Karena itulah ia hanya bisa mengimbau melalui tulisan pada secarik kertas bekas itu.

Saat itu juga Imbauan tersebut menjadi buah bibir di  kalangan guru-guru di ruangan itu. Namun bukan masalah kebiasaan jorok itu yang mejadi pusat pembicaraan, bukan pula soal pantas atau tidaknya penyampaian imbauan itu. Mereka pun tidak membahas siapa pemilik kebiasaan yang dianggap jorok itu. Tetapi, sejatinya masalah redaksional imbauan pada kertas itulah yang menjadi sorotan. Semua itu berawal pernyataan salah seorang guru yang mengatakan, “Kalian adalah teman-teman saya, maka kalau saya jorok berarti kalian semua adalah jin.” Sejenak, semua yang mendengar itu terdiam, berusaha mencerna pernyataan itu.  Mereka belum menyadari bahwa itu hanyalah kelakar. Dan benar saja, tidak sampai semenit tawa mereka meledak di ruangan itu. Tidak terkecuali saya.

Bagi orang lain mungkin kelakar itu terkesan biasa, namun sejatinya inilah kelakar yang cukup intelek. Maka, mereka yang bisa tertawa di ruangan itu sesungguhnya memiliki nalar berbahasa yang tinggi. Mereka sangat peka menangkap pernyataan si pelontar kelakar yang cukup berinteligensi. Saya senang bukan kepalang dengan situasi semacam ini. Alasannya tidak terlepas karena status saya sebagi guru bahasa. Karena kejadian inilah, saya pada akhirnya bisa menjelaskan kepada siswa dengan lebih sederhana mengenai salah satu bentuk salah kaprah dalam berbahasa Indonesia, yaitu penggunaan kata –nya. Namun sebelum menganalisis bahasa imbauan yang berbuah kelakar itu,  ada baiknya kalau kita menyinggung sedikit salah satu bagian dari kaidah berbahasa Indonesia tersebut.

Dalam bahasa Indonesia kita tentu mengenal kata–nya sebagai sebuah bentuk terikat yang berfungsi sebagai acuan atau kata ganti orang ketiga atau kata ganti nomina. Perhatikan contoh kalimat berikut:
(1)   Saya membeli sebuah novel terbaru, tetapi hingga kini saya belum sempat membacanya.
(2)   Karena modelnya bagus, saya memutuskan membeli baju itu.
(3)   Rino akan menyumbangkan seluruh uangnya untuk pelaksanaan kegiatan itu.
(4)   Saya sudah membujuknya, namun adik tetap saja tidak mau berhenti menangis.

Jika kita amati, penggunaan kata –nya dalam kalimat (1) dan (2) merupakan kata ganti yang merujuk pada sebuah benda yang tersebut dalam tiap-tiap kalimat, yakni novel pada kaliamat (1), dan baju pada kalimat (2). Sementara pada kalimat (3) dan (4), kata –nya berfungsi sebagai kata ganti orang ketiga yaitu Rino  dan Adik. Penggunaan kata –nya pada kalimat (1) dan (3)  merujuk pada sesuatu yang disebutkan di awal (anafora), sementara pada kalimat (2) dan (4) merujuk pada sesuatu yang disebut di akhir (katafora). Tanpa kehadiran kata ganti –nya, kita akan melihat alternatif kalimat-kalimat di atas menjadi seperti berikut ini:
(5)   Saya membeli sebuah novel terbaru, tetapi hingga kini saya belum sempat novel terbaru itu.
(6)   Karena model baju itu bagus, saya memutuskan membeli baju itu.
(7)   Rino akan menyumbangkan seluruh uang Rino untuk pelaksanaan kegiatan itu.
(8)   Saya sudah membujuk adik, namun adik tetap saja tidak mau berhenti menangis.
Namun keempat kalimat yang ditunjukkan oleh nomor (5) s.d. (8) dalam hal ini terlihat kurang efektif karena penggunaan kata yang tidak ekonomis.

Uraian mengenai kaidah penggunaan kata –nya di atas mungkin sudah cukup jelas, mudah, dan sederhana untuk dipahami dengan baik. Namun terkadang pemahaman yang baik terkadang tidak berbanding lurus dengan penggunaanya. Sehingga munculah berbagai prilaku salah kaprah berbahasa melalui kalimat-kalimat seperti berikut:

(9)   Hadirin, demikianlah sambutan dari saya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
(10) Demikian surat lamaran ini. Besar harapan saya untuk dapat bergabung dalam perusahaan yang Bapak/Ibu pimpin. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Apabila kita cermati, kalimat (9) tentu tidak asing lagi kita dengar dalam sebuah sambutan atau pidato singkat. Begitupun dengan kalimat (10) yang sering kita jumpai dalam teks sebuah surat resmi. Karena sifatnya yang tidak asing dan terbiasa di dengar atau dibaca, tak banyak orang yang mampu menyadari bahwa kalimat itu salah. Dan ketika sudah dinyatakan bahwa kalimat tersebut salah, sebagian besar orang mungkin akan makin bertanya, “Mengapa itu salah?”, atau mungkin juga mempertanyakan “Di mana letak kesalahannya?”

Barangkali akan tampak terlalu teoretis apabila pertanyaan itu dijawab dengan sebuah penjelasan seperti berikut ini:
Kata -nya merupakan kata ganti untuk benda atau orang ketiga, sedangkan rujukan pada contoh kalimat (9) dan (10) kedudukannya adalah sebagai orang kedua yang diajak berkomunikasi secara lisan atau tulisan.

Maka untuk pertanyaan semacam itu, saya biasa memberikan jawaban dengan sebuah ilustrasi seperti ini:
Jika Anda menjadi tamu yang hadir untuk mendengarkan sambutan dari saya, dan pada bagian akhir sambutan itu saya mengucapkan kalimat, “Hadirin, demikianlah sambutan dari saya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.”, alangkah percuma bila Anda memberikan tepukan tangan untuk sambutan itu. Karena pada dasarnya tidak sedikitpun terdapat makna dalam ucapan itu kalau saya mengucapkan terima kasih kepada Anda. Begitupun sebaliknya. Sebagus apapun isi pidato Anda, sebagai tamu saya tidak akan merasa tersanjung dengan ucapan terima kasih yang Anda ucapkan entah untuk siapa.
Jika saya pemilik sebuah perusahaan  yang menerima sebuah surat lamaran dengan beberapa kalimat akhir bertuliskan,  “Demikian surat lamaran ini. Besar harapan saya untuk dapat bergabung dalam perusahaan yang Bapak/Ibu pimpin. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.”, maka saya sudah pasti akan mengabaiknnya karena saya merasa bahwa surat itu tidak ditujukan kepada saya. 

Ilustrasi itu setidaknya itu terkesan lebih realis daripada sebuah uraian teoretis. Hal itu makin terbukti tatkala ilustrasi itu secara tak langsung dikemas dalam sebuah kelakar tentang “Jin Jorok” yang dilontarkan rekan guru tadi. Maka, segenap tawa yang menyertainya sekaligus merupakan hasil sebuah metode evaluasi efektif yang menunjukkan bahwa mereka mengerti. Mereka telah menguasai salah satu kepingan kecil dari ratusan keping kaidah berbahasa Indonesia, yaitu penggunaan kata –nya

Selamat Pagi Anak-anak eh... Pembaca

Selamat berkunjung ke rumah baru saya. Alhamdulillah akhirnya saya tersadar juga bahwa ternyata bukan cuma masalah "sering menulis" yang penting untuk dilakukan. Karena selain itu, ternyata  "mendokumentasikannya" juga lebih penting. Itulah jadinya kenapa saya mau repot-rept lagi bikin blog baru untuk mendokumentasikan kembali tulisan-tulisan saya yang tercecer di hardisk, ataupun di blog-blog lama saya (yang karena sudah uzur sampai lupa passwordnya) ke dalam rumah ini. Semoga betah.