Tapi
untuk beberapa hal yang lain, ketidakpunyaan rasa takut itu efeknya sungguh
sangat tidak baik. Padahal, rasa takut itu sebenarnya bisa menjadi salah satu
kontrol bagi setiap orang dalam melakukan sebuah tindakan. Nah, kalau tindakan
yang dilakukan cenderung menyimpang, maka rasa takut itu sesungguhnya penting
bukan.
Idealnya
sih, dalam mengontrol segala tindakan menyimpang itu cukup satu hal yang perlu
ditakuti, yaitu Tuhan. Tapi dalam konteks mendidik anak sekolah usia SD atau
SMP yag terbilang labil, tidaklah mudah menanamkan rasa takut terhadap Allah
dalam diri mereka karena itu terkait dengan seberapa kuat iman yang tertanam. *eh tapi kalo soal itu kayaknya sihberlaku
juga buat anak dewasa deh.
Terhadap
anak saya yang berumur 3 tahun, setiap kali dia menanyakan alasan saya melarang
tindakannya yang tidak baik, awalnya saya selalu menjawab, “Nanti dimarahin Allah”. Tapi belakangan saya
dan istri khawatir, keseringan memberikan jawaban itu justru akan membuatnya
memiliki konsep pemahaman bahwa Allah itu galak, dan suka marah-marah. Padahal,
Allah itu harus dicintai bukan.
Jawaban
untuk itu pun kini saya balik, “Allah itu senang sama anak yang berbuat baik. Kalau
kita berbuat yang baik, Allah akan memberikan kita sehat dan rezeki yang
banyak”. (Sambil berharap semoga saja jawaban ini lebih baik setidaknya dari
jawaban sebelumnya)
Namun,
ketika sekarang frekuensi bertanya anak saya ini makin kritis lagi, bahkan
sudah mengarah ke logika, saya mulai “memperkenalkannya” dengan konsekuensi,
alias akibat. Misalnya, kalau memegang setrikaan tentu saja akibatnya tangan
melepuh, tidak mau mandi akibatnya badan akan bau dan gatal-gatal, akibat tidak
mau gosok gigi adalah ya sakit gigi. Ketika dia merasakan sendiri akibat itu,
maka tentu ia tidak akan mengulangi tindakannya tadi.
Tapi
ada juga beberapa tindakan jelek yang memiliki konsekuensi yang belum bisa
dipahami. Untuk beberapa tindakan itu biasanya saya katakan, “Kalau kamu
lakukan itu, Papa akan marah.” Ia memang paling tidak mau kalau papanya marah. Ia
pun langsung takut walau sebenarnya saya tidak mau seperti itu terus.
Begitupun halnya dengan siswa saya di sekolah baik yang
tingkat SD hingga SMA. Setidaknya ada tiga hal yang mampu mengontrol tindakan
mereka. Ketiganya terkait dengan rasa takut itu.
Pertama
ada siswa yang benar-benar menghindari tindakan buruk karena takut dosa. Ini
hubungannya tentu dengan rasa takut kepada Tuhan yang kuncinya adalah kualitas
iman yang tertanam pada diri mereka masing-masing. Kedua, bisanya karena mereka
takut dengan ancaman sanksi dari sekolah. Dan yang ketiga, biasanya siswa yang
sudah pernah merasakan sanksi itu dan merasakan kapok.
Dari
tiga tipikal itu, sebenarnya yang paling banyak
saya jumpai sih yang kedua. Untuk tipikal yang pertama di
sekolah-sekolah umum jaman sekarang susah. coba deh, pasti jarang nemu anak
yang takut ama dosa. Mereka lebih takut dengan sanksi nyata yang bisa mereka
lihat atau rasakan sendiri.
Setidaknya
saya pernah mengamati beberapa kasus yang membuktikan hal tersebut. Salah satu
siswa SMA ada yang tidak pernah kapok melakukan bullying kepada temanya meskipun ia sudah tahu kalau tindakannya
itu berdosa. Namun ia tidak lagi melakukan itu setelah ia merasakan sendiri
konsekuensi yang diterimanya: dijauhi seluruh siswa.
Begitu
juga dengan kasus menyontek. Sampai berbusa-busa mulut ini menjelaskan kepada
mereka bahwa menyontek itu awal dari ketidakjujuran dan hukumnya DOSA. Efeknya,
cuma sekali dua kali ampuh mereka tahan tidak nyontek. Selanjutnya, ya terulang lagi. Namun begitu dipertegas
bahwa barang siapa yang menyontek kertas ulangannya akan disobek dan diberikan
nilai nol, dan ada salah seorang siswa yang mengalaminya, mereka semua kapok.
Bahkan
memahami konsekuensi saja tidak cukup efektif jika belum merasakannya. Ada
seorang siswa SMP yang beberapa kali sudah diberi peringatan menyangkut nilai
akademiknya yang berpotensi untuk tidak naik kelas, ia hanya cuek meskipun saya
tahu secara akademik otaknya mampu untuk
megatasi itu. Dan setelah konsekuensi itu benar-benar ia rasakan, alias dia
tidak naik kelas, ia menangis meraung-raung dan menyesalinya.
Tapi
di antara ketiga tipikal itu, ada yang lebih parah. Dan ini yang saya
khawatirkan seperti di awal tadi. Ada anak yang benar-benar tidak punya rasa
takut sama sekali terhadap apapun. Jangankan kata dosa, diancam sanksi berat
pun dia bergeming. Puncaknya, ketika sanksi itu benar-benar diberikan, saya dan
beberapa rekan guru berpikir ia akan benar-benar kapok dan berubah. Ternyata tidak
sama sekali. Padahal sanksi itu adalah tinggal kelas untuk yang kesekian kali.