Nggak tahu kenapa,
dari dulu meja makan itu sering menjadi saksi bisu dari sekian banyak diskusi
penting yg saya alami. Berikut beberapa cuplikannya:
SCENE 1 : MEJA MAKAN DI RUMAH
Malam itu kebetulan kami membahas soal biaya pendidikan. *sebenernya sih ngomongin investasi
keluarga.
Istri membuka percakapan, “Pendidikan itu sekarang mahal
Mas. Itu udah jadi kenyataan pasti yang nggak bisa lagi ditawar-tawar dan
diprotes, *sambil ngelirik ke saya
yang emang hobinya protes melulu ke pemerintah* jadi mau nggak mau harus kita hadapi nanti. Dengerin nih ya, kata salah satu temen
ngeblog aku, dia itu salah seorang
Financial Planer, aku sering baca tulisan blognya tentang financial gitu…..”
“Iya terus intinya si Financial Planer itu ngomong apa? Langsung aja kenapa sih bilang
menurut Perencana Keuangan?” kata saya dalam hati. *tapi
nggak berani tega ngomong gitu
“Biaya pendidikan setiap tahun akan naik 10%. Coba bayangin tahun ini aja biaya masuk SD sudah 17 juta, Kalau nanti anak kita 3 tahun
lagi masuk sekolah, berapa coba?” Tanya istri setengah ngetes kemampuan matematika saya yang cetek . *padahal dia juga sama nggak jago ngitung
“Jadi nih ya, mau nggak mau kita tuh harus sudah punya persiapan dana dari sekarang. Kalau cuma
dengan cara nabung dari hasil gaji kita berdua sekarang itu nggak mungkin ngejar target biaya penddikan buat Keisha sampe kuliah. Belum lagi
kalau kita mau punya anak lagi. Kecuali, *di-caps
lock, pake underline, bold dan italic * kalau Keisha kita sekolahin di sekolahan ecek-ecek,
emang rela? Jadi, kita punya investasi yang menguntungkan.”
“Terus?”
“Nah aku udah buat catatan nih. Kalau kita investasi lewat reksadana itu keuntungannya bisa
lebih besar daripada deposito, unit link,
atau bahkan emas yang selama ini udah kita punya. Jadi hitungannya kalau dengan
nabung secara normal untuk mengejar target biaya pendidikan Keisha dari mulai
nanti SD sampai kuliah, per bulan kita harus nabung 500 ribu atau bahkan hamper
jutaan per bulan. Sementara, dengan reksadana, kita hanya perlu investasi 200
ribu perbulan untuk itu dengan asumsi #@$^*&%(&*^)**&%&^%(*&….”
papar marketing salah satu produk asuransi istri saya dengan cerdas dan taktis.
Begitulah cuplikannya. Kalau mau yang lengkap baca saja di buku
saya “Diskusi Meja Makan” hehehe *ngayal
Seperti biasa kalau saya udah nggak mudeng, lebih baik ya
manggut-manggut aja pura-pura ngerti daripada berani bertanya berantem
di jalan lantaran ketahuan saya ini tulalit.
Toh seiring berjalannya waktu nanti saya bakalan paham. *dengan googling pastinya
SCENE 2 : MEJA MAKAN KANTIN SEKOLAH
Lantaran ada salah satu orang tua siswa yang lagi sarapan di
kantin, mau nggak mau ya saya duduk
bareng dalam satu meja.
“Bagaimana Pak, putrinya sudah daftar ke SMA?” tanya saya
soal perkembangan salah seorang siswa saya yang baru lulus SMP.
“Wah, ribet Pak.”
“Ribet gimana?”
“Nana saya nggak bisa masuk ke kelas RSBI (Rintisan Sekolah Bertarif
Bertaraf Internasional –Red) di SMA d*****n Pak.”
“Lho kenapa?” tanya saya setengah kepo.
Jadi singkat cerita, konon ketika anaknya itu didaftarkan ke
salah satu sekolah favorit di Jakarta dengan menyerahkan nomor ujian nasional
(yang notabene nomor resmi yang dikeluarkan Diknas dan pastinya diakui secara
nasional), nomor tersebut sudah terdaftar dengan nama orang lain.
Edan kan? Tapi saya sih nggak
heran dengarnya, jangankan nomor peserta ujian, wong nomor identitas penduduk
Daftar Pemilih Tetap (DPD) buat Pilkada aja ada yang double bahkan triple. *naluri antipemerintahnya
muncul.
Nah, konyolnya lagi, pihak sekolah menyuruh si ortu murid saya itu buat laporan ke
Diknas. Dan yang lebih konyol lagi, kepala sekolah SMA itu menyarankan siswa
untuk ikut ujian penyetaraan karena tidak terdaftar secara nasional.
Eh busyet. Jadi
mereka pikir SMP siswa itu dari (alias sekolah tempat saya nyari nafkah –Red) dari negeri antah berantah? Mereka pikir
siswa-siswa saya ikutan Ujian Nasional Pake kurikulum Bangsa Swahili?
Jelas-jelas ada logo Kementrian Pendidikan Nasional di ijazah kelulusannya.
Sebagai guru siswa yang terzolimi, tentu saya tersinggung
sudara-saudara. *lebay dikit*. Ucapan
kepala sekolah tadi tidak saja melecehkan Kementrian Pendidikan Nasional sebagai
pihak yang meluluskan siswa saya, tapi juga secara tidak langsung menutup mata
terhadap keberadaan sekolah saya. Nggak
tau apa enam bulan lalu saya lembur sampai malem selama seminggu sampe akhirnya
sekolah saya mendapatkan akreditasi A dari Diknas, plus Sertifkasi ISO 9001 :
2008. *apa memang kalian nggak tau ya? Emang
nggak dimuat di koran sih.
“Wah itu pelecehan Pak. Udah lapor ke Kepsek kita? kata
saya.
“Udah Pak.” jawabnya enteng
“Trus?” kata saya kepo lagi.
“Nggak ada itu
ujian kesetaraan. Cuma mengada-ada itu kepala sekolahnya.
Intinya ini pak ini Pak,
*ujung jempol dan telunjuk beradu-adu* DUIT. Kata si ortu murid menirukan
ucapan Kepsek saya.
Saya melotot plus geleng-geleng kepala pura-pura kaget
karena sebenernya udah biasa denger soal itu. Lalu saya tanya,
”Emang berapa tuh
biasanya?”
“Pengalaman teman saya tahun lalu, kalau SMA yang
kualitasnya satu tingkat di bawah itu sih 39 juta,” kata si ortu murid enteng.
“HAAAAA!,” saya kaget beneran
SCENE 3 : SAMA SEPERTI SCENE 1
Saya : “Ma, ayo kita beli reksa dana!”
No comments:
Post a Comment