Sadar atau tidak, ada satu kebiasaan yang sering kali diabaikan
guru di sekolah-sekolah umum –dan menurut saya ini sebuah kesalahan-, yaitu
ketika melihat seorang siswa laki-laki yang selalu senang berkelompok dengan
siswa putri (dan juga sebaliknya). Biasanya situasi ini dapat jelas dijumpai
pada saat sebelum masuk kelas, jam sitirahat, atau pun jam pulang sekolah.
Di sisi lain, sadar atau tidak, kalau kata “homo” (merujuk
ke kata “homoseksual”) kini sudah
menjadi salah satu kosa kata yang dikuasai siswa-siswa kelas 2 SD.
Saya pernah dibuat shock
oleh salah seorang siswa laki-laki kelas 2 SD. Itu terjadi ketika secara
spontan saya mencubit gemas pipinya yang tembem sambil menasihati untuk
mengikat tali sepatunya. Tiba-tiba dengan spontan anak itu bilang,
“Idih Bapak homo.”
“Emang homo itu artinya apa?” tanya saya.
“Ya suka sama laki-laki, alias gay.” *alamak nambah lagi kosa katanya.
Pertanyaan saya, dari mana anak seusia itu tahu kata-kata
itu? Lalu sejauh mana pengetahuan anak itu terhadap homoseksualitas?
Kebetulan topik ini lagi anget-angetnya
diperdebatkan oleh kalangan LSM dan juga kaum feminis. Kalau mau bahas soal
homoseksual, ujung-ujungnya pasti akan sampai pada pertentangan antara pendapat
yang menganggap homoseksual sebagai penyakit sosial dan pendapat yang
menganggap homoseksial sebagai kodrat lahiriah yang tidak bisa ditentang.
Contohnya seperti yang belakangan dikumandangkan oleh kaum feminis yang
menyatakan bahwa lesbian ibarat
pencapaian tertinggi seorang feminis. Sebab perempuan tidak lagi bergantung
pada laki-laki untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Nah, kalau pendapat saya sih homoseksual itu tetap tergolong penyimpangan orientasi seksual. Ajaran agama
yang saya yakini pun melarang hal itu. Kalau tidak, lalu apakah ada alasan lain
Allah memusnahkan kaum Nabi Luth?
Tapi itu bukan berarti saya akan mengucilkan, menjauhi atupun menolak segala pemikiran mereka yang
telah terlanjur “terjerumus” dalam homoseksualitas itu. Namun, sebagai guru
saya merasa punya tanggung jawab moral untuk mencegah anak didik saya
terjerumus dalam kehidupan itu.
Saya yakin ada satu momentum dalam setiap rentang kehidupan
manusia yang akan menentukan arah orientasi seksual mereka. Momentum itu bisa
muncul sejak kecil. Di sinilah peran penting orang tua dan guru untuk
mengarahkan anak agar mereka tidak “berbelok” ke orientasi yang salah ketika
berada pada momentum itu.
Makanya saya tidak bisa cuek kalau melihat ada seorang siswa
laki-laki yang setiap saat selalu nyaman bergabung bermain bersama kelompok
siswa perempuan (dan sebaliknya). Menurut saya inilah salah satu momentum yang saya maksud
tadi.
Kebetulan pada suatu hari, untuk menggantikan guru olahraga
yang absen, saya mendapat giliran mengajar penjaskes di kelas siswa “laki-laki”
itu (sebut saja namanya Adrian). Seperti pelajaran penjaskes yang biasanya
dilakukan, saya mengelompokkan mereka berdasarkan siswa laki-laki dan siswa
perempuan. Siswa laki-laki tentu saya beri kegiatan bermain sepak bola,
sementara siswa perempuan permainan lompat tali.
Seketika itu, Adrian mojok
di sudut lapangan dan menolak bergabung bermain bola dengan siswa laki-laki
lainnya.
“Kenapa Adrian?” tanya saya.
“Saya tidak bisa main bola Pak.”
“Temanmu yang lain juga tidak semuanya bisa main bola. Yang
penting kamu ikut berlari agar badanmu sehat. Lama-lama pasti terbiasa dan
bisa.”
“Saya tidak suka dengan mereka Pak.”
“Kenapa? Mereka memusuhi kamu?”
“Mereka sepertinya tidak ada yang mau main dengan saya Pak.”
Lalu saya mengumpulkan seluruh siswa laki-laki yang sedang
bermain bola.
“Dengar, di sekolah ini kita semua adalah keluarga. Maka
jangan ada di anatara kalian yang saling mengucilkan temannya. Apakah kalian
mau kalau kalian yang dikucilkan?”
“Tidak Paaaaak.”
“Kalau begitu, bermainlah bersama-sama. Jangan pilih-pilih
teman!”
“Kita mau-mau aja kok Pak. Tapi, emang dia kali Pak yang nggak
mau gabung,” celetuk salah seorang siswa laki-laki.
“Adrian, kamu dengar kan? Mereka mau kok bermain dengan kamu. Sekarang begabunglah main dengan mereka!”
Adrian akhirnya bergabung. Tetapi ternyata itu tidak
berlangsung lama karena 10 menit setelah itu, tanpa saya sadari tiba-tiba ia
sudah berada dalam kelompok siswa perempuan sedang bermain lompat tali.
Sekali lagi, ini adalah momentum dan saya harus mengarahkannya
dengan cara yang halus. Kali ini seluruh siswa laki-laki maupun perempuan saya
kumpulkan.
“Anak-anak sekarang saatnya bergantian. Siswa laki-laki
bermain lompat tali, dan siswa perempuan bermain bola.”
“Yaah Bapak, itu kan permainan anak cewek”, kata siswa laki-laki.
“Tau nih Bapak, masak kita anak cewek main bola.” balas siswa perempuan.
“Lho kalian belum tahu sih,
sekarang ini kan sudah ada kejuaraan dunia sepakbola puteri. Walaupun yang main
itu perempuan, permainan mereka tidak kalah hebat lho dengan tim sepakbola laki-laki.”
Sontak muka-muka sumringah
para siswa perempuan seolah merasa ada sesuatu kebanggaan baru yang mewakili gender-nya.
Dan kepada siswa laki-laki saya katakana,
“Lompat tali itu sangat bagus untuk melatih kemampuan
melompat kalian agar menjadi lebih baik. Kalian kenal pebasket terkenal asal
Amerika bernama Michael Jordan?” *kalau
nggak kenal silahkan googling
“Horeee!” sambut seluruh siswa laki-laki kecuali Adrian.
Sekenario ini pun berjalan mulus hingga akhirnya 15 menit
berselang –dan lagi-lagi luput dari perhatian saya– saya melihat Adrian
mengambilkan bola hasil tendangan siswa perempuan yang menyasar kepadanya.
Pikir saya ia hanya membantu mengambilkan. Tapi ternyata setelah itu ia
menggiring bola itu dengan lihainya, menggocek siswa perempuan yang dilaluinya,
dan gooool. Ia pun sukses menyarangkan bola itu ke gawang lawan. Semua siswa
perempuan bersorak dan tidak canggung untuk memeluk Adrian.
Semoga ini bukan momentum yang membuat Adrian "berbelok". *garuk-garuk kepala
No comments:
Post a Comment