Sebuah lembaran kertas
HVS bekas tertempel di salah satu sisi dinding pantry di sudut belakang ruang guru. Pada kertas itu tertulis
sebuah pesan atau lebih tepatnya imbauan yang kurang lebih seperti ini
redaksinya: “Mohon dengan sangat agar
piring, gelas, garpu, dan sendok yang telah digunakan, dicuci kembali. Yang senang
jorok dan kotor temannya jin”
Isi imbauan itu ditujukan
kepada pengguna pantry yang notabene
adalah para guru. Dan usut punya usut si penulis imbauan itu adalah salah seorang
dari mereka yang selama ini merasa risih dengan kebiasaan beberapa rekannya yang
kerap meninggalkan piring, gelas, sendok, dan atau garpu yang habis digunakan,
dalam keadaan kotor dan tidak dicuci kembali. Ia tidak tahu secara pasti siapa
pemilk kebiasaan yang dianggap jorok itu. Karena itulah ia hanya bisa mengimbau
melalui tulisan pada secarik kertas bekas itu.
Saat itu juga Imbauan tersebut
menjadi buah bibir di kalangan guru-guru
di ruangan itu. Namun bukan masalah kebiasaan jorok itu yang mejadi pusat pembicaraan,
bukan pula soal pantas atau tidaknya penyampaian imbauan itu. Mereka pun tidak
membahas siapa pemilik kebiasaan yang dianggap jorok itu. Tetapi, sejatinya
masalah redaksional imbauan pada kertas itulah yang menjadi sorotan. Semua itu
berawal pernyataan salah seorang guru yang mengatakan, “Kalian adalah
teman-teman saya, maka kalau saya jorok berarti kalian semua adalah jin.”
Sejenak, semua yang mendengar itu terdiam, berusaha mencerna pernyataan
itu. Mereka belum menyadari bahwa itu
hanyalah kelakar. Dan benar saja, tidak sampai semenit tawa mereka meledak di
ruangan itu. Tidak terkecuali saya.
Bagi orang lain mungkin
kelakar itu terkesan biasa, namun sejatinya inilah kelakar yang cukup intelek.
Maka, mereka yang bisa tertawa di ruangan itu sesungguhnya memiliki nalar berbahasa
yang tinggi. Mereka sangat peka menangkap pernyataan si pelontar kelakar yang
cukup berinteligensi. Saya senang bukan kepalang dengan situasi semacam ini.
Alasannya tidak terlepas karena status saya sebagi guru bahasa. Karena kejadian
inilah, saya pada akhirnya bisa menjelaskan kepada siswa dengan lebih sederhana
mengenai salah satu bentuk salah kaprah dalam berbahasa Indonesia, yaitu
penggunaan kata –nya. Namun sebelum menganalisis bahasa imbauan
yang berbuah kelakar itu, ada baiknya
kalau kita menyinggung sedikit salah satu bagian dari kaidah berbahasa Indonesia
tersebut.
Dalam bahasa Indonesia kita tentu mengenal kata–nya
sebagai sebuah bentuk terikat yang berfungsi sebagai acuan atau kata ganti
orang ketiga atau kata ganti nomina. Perhatikan contoh kalimat berikut:
(1) Saya membeli sebuah novel terbaru, tetapi
hingga kini saya belum sempat membacanya.
(2) Karena modelnya bagus, saya memutuskan
membeli baju itu.
(3) Rino akan menyumbangkan seluruh uangnya
untuk pelaksanaan kegiatan itu.
(4) Saya sudah membujuknya, namun adik tetap
saja tidak mau berhenti menangis.
Jika kita amati, penggunaan kata –nya dalam kalimat (1) dan
(2) merupakan kata ganti yang merujuk pada sebuah benda yang tersebut dalam tiap-tiap
kalimat, yakni novel pada kaliamat (1), dan baju pada kalimat (2). Sementara
pada kalimat (3) dan (4), kata –nya berfungsi sebagai kata ganti
orang ketiga yaitu Rino dan Adik.
Penggunaan kata –nya pada kalimat (1) dan (3) merujuk pada sesuatu yang disebutkan di awal
(anafora), sementara pada kalimat (2) dan (4) merujuk pada sesuatu yang disebut
di akhir (katafora). Tanpa kehadiran kata ganti –nya, kita akan melihat
alternatif kalimat-kalimat di atas menjadi seperti berikut ini:
(5) Saya membeli sebuah novel terbaru, tetapi
hingga kini saya belum sempat novel terbaru itu.
(6) Karena model baju itu bagus, saya memutuskan
membeli baju itu.
(7) Rino akan menyumbangkan seluruh uang Rino
untuk pelaksanaan kegiatan itu.
(8) Saya sudah membujuk adik, namun adik tetap
saja tidak mau berhenti menangis.
Namun keempat kalimat yang
ditunjukkan oleh nomor (5) s.d. (8) dalam hal ini terlihat kurang efektif
karena penggunaan kata yang tidak ekonomis.
Uraian mengenai kaidah
penggunaan kata –nya di atas mungkin sudah cukup jelas, mudah, dan sederhana
untuk dipahami dengan baik. Namun terkadang pemahaman yang baik terkadang tidak
berbanding lurus dengan penggunaanya. Sehingga munculah berbagai prilaku salah
kaprah berbahasa melalui kalimat-kalimat seperti berikut:
(9) Hadirin, demikianlah sambutan dari saya.
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
(10) Demikian surat lamaran ini. Besar harapan saya
untuk dapat bergabung dalam perusahaan yang Bapak/Ibu pimpin. Atas perhatiannya
saya ucapkan terima kasih.
Apabila kita cermati,
kalimat (9) tentu tidak asing lagi kita dengar dalam sebuah sambutan atau
pidato singkat. Begitupun dengan kalimat (10) yang sering kita jumpai dalam
teks sebuah surat resmi. Karena sifatnya yang tidak asing dan terbiasa di
dengar atau dibaca, tak banyak orang yang mampu menyadari bahwa kalimat itu
salah. Dan ketika sudah dinyatakan bahwa kalimat tersebut salah, sebagian besar
orang mungkin akan makin bertanya, “Mengapa itu salah?”, atau mungkin juga mempertanyakan
“Di mana letak kesalahannya?”
Barangkali akan tampak
terlalu teoretis apabila pertanyaan itu dijawab dengan sebuah penjelasan
seperti berikut ini:
Kata -nya merupakan kata ganti untuk benda
atau orang ketiga, sedangkan rujukan pada contoh kalimat (9) dan (10) kedudukannya
adalah sebagai orang kedua yang diajak berkomunikasi secara lisan atau tulisan.
Maka untuk pertanyaan
semacam itu, saya biasa memberikan jawaban dengan sebuah ilustrasi seperti ini:
Jika
Anda menjadi tamu yang hadir untuk mendengarkan sambutan dari saya, dan pada
bagian akhir sambutan itu saya mengucapkan kalimat, “Hadirin, demikianlah
sambutan dari saya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.”, alangkah
percuma bila Anda memberikan tepukan tangan untuk sambutan itu. Karena pada
dasarnya tidak sedikitpun terdapat makna dalam ucapan itu kalau saya
mengucapkan terima kasih kepada Anda. Begitupun sebaliknya. Sebagus apapun isi
pidato Anda, sebagai tamu saya tidak akan merasa tersanjung dengan ucapan
terima kasih yang Anda ucapkan entah untuk siapa.
Jika
saya pemilik sebuah perusahaan yang
menerima sebuah surat lamaran dengan beberapa kalimat akhir bertuliskan, “Demikian surat lamaran ini. Besar harapan
saya untuk dapat bergabung dalam perusahaan yang Bapak/Ibu pimpin. Atas
perhatiannya saya ucapkan terima kasih.”, maka saya sudah pasti akan
mengabaiknnya karena saya merasa bahwa surat itu tidak ditujukan kepada
saya.
Ilustrasi itu setidaknya
itu terkesan lebih realis daripada sebuah uraian teoretis. Hal itu makin
terbukti tatkala ilustrasi itu secara tak langsung dikemas dalam sebuah kelakar
tentang “Jin Jorok” yang dilontarkan rekan guru tadi. Maka, segenap tawa yang
menyertainya sekaligus merupakan hasil sebuah metode evaluasi efektif yang
menunjukkan bahwa mereka mengerti. Mereka telah menguasai salah satu kepingan
kecil dari ratusan keping kaidah berbahasa Indonesia, yaitu penggunaan kata –nya.
No comments:
Post a Comment