Buat
kebanyakan orang, rapot adalah dokumen paling “sakral” setelah ijazah. Untuk
apa sekolah kalau tanpa rapot. Meski hakikat pendidikan intinya merupakan
sebuah proses, rapot tetaplah sebagai gambaran bukti ketercapaian proses itu.
Isinya memang hanya berupa angka-angka. Namun, angka-angka itu menjadi
segala-galanya bagi mereka.
Karena
angka yang berbicara atas segala-galanya, maka rapot pun harus dibuat dengan
tingkat ketelitian yang tinggi dan penuh dengan pertimbangan ini dan itu. Jadi,
kalau ada rutinitas yang paling menyibukkan bagi guru selama satu tahun
pelajaran pastinya adalah pada saat jelang bagi-bagi rapot. Pada saat itu
mereka harus mengutak-atik angka-angka yang diolah dengan rumus tertentu untuk
menghasilkan sebuah nilai akhir yang nantinya akan tertera pada halaman rapot.
Beruntunglah
bagi mereka yang mengajar di sekolah yang jumlah siswa per kelasnya sedikit dan
sudah menerapkan sistem komputerisasi dalam pengolahan nilainya. Kebayang kan kalau mengajar di sekolah
yang jumlah siswa perkelasnya 40 siswa dan pengisian rapotnya masih manual
alias tulis tangan. Berhadapan dengan angka-angka pastinya berasa seperti tokoh
Simon di film Mercury Rising. Saat itu akan terlihatt betapa
sibuknya para wali kelas mempersiapkan rapot layaknya mempersiapkan hajatan
anaknya yang mau disunat.
Yang
terkadang bikin repot lagi sebenaranya adalah pada saat prapengisian rapot
untuk kenaikan kelas. Biasanya pada saat itu ada rapat penentuan kenaikan kelas
oleh kepala sekolah dan seluruh guru. Dalam rapat tersebut setiap walikelas
melaporkan hasil olahan nilai untuk rapot siswa-siswinya. Kalau laporannya
menunjukkan bahwa nilai semua siswa di kelasnya memenuhi syarat untuk naik
kelas, maka rapat pun akan berjalan lancar. Tapi lain soal kalau dalam laporan
itu ada salah satu saja siswa yang nilainya tidak memenuhi syarat naik kelas.
Di sinilah biasanya rapat bisa berlangsung alot.
Perdebatan
biasanya terjadi antarsesama guru dan juga dengan kepala sekolah. beberapa guru
yang idealis biasnya keukeuh
memberikan nilai rapot apa adanya. Kalau toh konsekuensinya si siswa tidak naik
kelas itu bukanlah aib bagi sekolah atau pun siswa, melainkan sebuah
pembelajaran. Memaksa menaikkan siswa tersebut justru akan mempersulit siswa
yang bersangkutan dan juga sekolah di saat Ujian Nasioanl nanti. Namun bisanya
tidak demikian pendapat guru yang lain atau bahkan kepala sekolah. Bagi
sekolah-sekolah unggulan, bisanya menjadi aib apabila ada siswanya yang tidak
naik kelas. Reputasi sebagai sekolah unggulan akan turun. Logika yang diterima
masyarakat adalah kalau sekolah unggulan pasti siswa-siswinya juga “unggul”.
Teman
saya yang mengajar di sekolah unggulan lain pernah bercerita. Ketika tidak ada
titik temu dari perdebatan semacam itu, jalan tengah yang diambil adalah tetap
memberikan kenaikan kelas, namun siswa tersebut dipaksa pindah ke sekolah lain.
Pernah
juga ada siswa yang terpaksa harus dinaikan dengan alasan-alasan tertentu. Di
sekolah unggulan ada kalanya terdapat beberapa siswa “titipan” entah itu anak
pejabat, atau anak pemilik yayasan sekolah yang terkadang otaknya pun
pas-pasan. Sekeras apapun upaya guru, sulit membuat anak tersebut memiliki
kualifikasi rata-rata siswa di sekolah itu. Men-tidak naik-kan anak tersebut
pun jelas tidak mungkin. Maka konsekuensinya nilai anak itu pun didogkrak
hingga bisa naik kelas.
Lain
lagi dengan cerita yang terjadi di sebuah sekolah yang bukan unggulan. Seorang
siswa pernah dinaikkan dua tahun berturut-turut atas dasar belas kasihan. Siswa
itu adalah anak semata wayang yang menjadi harapan satu-satunya bagi orang
tuanya. Hidup mereka pas-pasan. Dan parahnya tidak ada satu pun sekolah lain
yang mau menerima.
Beruntung
ketika diberi kesempatan menjadi wali kelas, saya hanya mengalami satu kali
untuk tidak menaikkan kelas. Siswa yang jadi korban sebenarnya adalah anak yang
baik. Tapi 5 bidang studi nilainya jatuh. Masalahnya ternyata ada pada orang
tuanya yang selalu mengekang waktu anaknya mulai dari pulang sekolah sampai
waktu tidur malam. Tidak ada waktu bermain, bersosialisasi, termasuk belajar.
Yang ada hanya membantu orang tua dan menjaga adik-adiknya. Alhasil, siswa itu
benar-benar terpukul menerima kenyataan tinggal kelas. Beruntung akhirnya orang
tua siswa itu sadar dan menyemangati anaknya yang terduduk lemas menangis
sesegukan. Terlambat memang. Tapi barangkali memang harus ada yang dikorbankan
untuk membuat seseorang tersadar akan kekeliruannya.
Cerita
soal bagaimana respon para siswa dan orang tua mereka pascavonis tidak naik
kelas memang unik. Kebanyakan tentu mereka sangat sedih dan kecewa. Sebijaksana
apapun guru memberikan penguatan kepada siswa bahwa tidak naik kelas bukanlah
sebuah akhir; dan sebanyak apapun guru memberikan contoh kisah tentang
orang-orang sukses setelah bangkit dari kegagalan, tetap saja mereka menganggap
tidak naik kelas = aib.
Yang
parah kalau orang tuanya ikutan naik darah. Sasaran tembaknya antara dua:
marah-marah ke anaknya sendiri atau kalau tidak memaki-maki guru dan kepala
sekolah. Rekan saya yang sudah jadi kepala sekolah pernah bercerita, salah satu
orang tua yang anaknya tidak naik kelas datang menghadap. Dia tidak memaki-maki
memang, tapi secara “halus” meminta kepala sekolah menaikkan anaknya sambil
meletakkan pistol di atas meja kepala sekolah. Gimana nggak horror tuh.
Walau
begitu, banyak juga orang tua yang dengan bijak menerima dan bahkan ikut
menguatkan semangat anaknya. Orang tua model begini nih pasti paham soal pendidikan. Setidaknya, mereka cukup
meringankan tugas guru untuk memberikan penguatan kepada anak.
Di sekolah unggulan,
kasus tidak naik kelas jarang atau bahkan tidak penah saya jumpai. Tapi bukan berarti protes dan caci
maki orang tua kepada guru ataupun kepala sekolah juga tidak ada. Bahkan kadang
lebih konyol. Pernah ada pasangan orang tua siswa yang kebetulan berprofesi
sebagai seniman, tidak terima jika nilai pelajaran kesenian anaknya mendapat
nilai 78. Menurut mereka anaknya pantas mendapat nilai 90. Si orang tua tidak
mau tahu walaupun guru keseniannya sudah menjelaskan bahwa ketika praktik
menyanyi solo, suara si anak luar biasa fales.
Nilai rapot memang tidak bisa diganggu gugat, namun nama dan reputasi guru kesenian
itu dicoreng-moreng abis di depan orang tua murid lain dan bahkan para calon
orang tua murid yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah itu.
“Hati-hati
sama guru kesenian itu, ngajarnya nggak
bener. Baca partitur aja nggak
bisa!” begitu kasak-kusuk bernada nyinyir yang sering terdengar. Benar-benar
pembunuhan karakter ya.
Tapi
di balik duka, pasti ada suka. Tapi cerita ini umumnya terjadi di
sekolah-sekolah unggulan yang notabene siswanya dari kalangan ortu yang tajir. Urusan siswa bermasalah
nilai, paling kasusnya hanya 1 persen. Selebihnya, tidak ada masalah. Jadi
jangan heran betapa berlebihannya wujud rasa terima kasih para orang tua siswa
kepada wali kelasnya saat datang untuk mengambil rapot. Berdasarkan pengamatan
saya, setiap wali kelas yang selesai membagikan rapot di kelasnya, akan kembali
ke ruang guru dengan tangan yang penuh dengan jinjingan berisi beragam
bingkisan. Bahkan mereka tak segan-segan membuka bingkisan itu di depan para
guru yang lain. Ada yang isinnya jam tangan, handphone terbaru, baju, tas
bermerek, bahkan segepok uang tunai.
“Berangkat
kerja naik ojek, pulang kayaknya harus sewa dua bajaj nih”, celetuk salah seorang guru menyindir. Saya dan beberapa guru
debutan yang tidak jadi wali kelas cuma bisa nyengir kuda.
Jadi,
ya begitulah nasib menjadi wali kelas jelang dan saat bagi rapot. Sudah lelah
fisik, batin pun kadang ikutan dibikin letoi.
Tapi begitu tahu bahwa sesudahnya happy
ending, posisi wali kelas bagi guru-guru ibarat jabatan “basah” di kantor
PNS, semua pasti mau.
Tapi
ada salah seorang teman saya yang ngebet
banget jadi wali kelas bukan karena soal dapat bingkisan-bingkisan itu,
melainkan karena satu alasan:
“Saya
pengen banget bisa tanda tangan di
rapot supaya nanti tanda tangan saya bisa dikenang siswa ketika mereka udah
jadi pejabat,” katanya dengan penuh harap.
Belakangan
setelah saya pindah dari sekolah unggulan itu, harapan teman saya terwujud. Ia akhirnya
jadi wali kelas. Semoga saja siswanya ketika kelak jadi pejabat benar-benar nggak lupa sama wali kelasnya itu.
No comments:
Post a Comment