Coba
bayangkan Saudara-Saudara, lebih dari ¾ abad yang lalu pemuda-pemudi bangsa
kita bersusah-payah berjuang mempersatukan seluruh rakyat Indonesia yang waktu
itu masih terpecah bersuku-suku supaya bisa ngelawan
wong londo. Nah sekarang, ketika negeri ini udah setengah abad lebih
merdeka, malah hobi bikin, kelompok, perkumpulan, ormas, atau paguyuban, atas
nama kesukuan. Ampun deh!
Sebenarnya
sah-sah saja sih. Toh itu adalah hak mereka yang dilindungi oleh UUD ’45 pasal
28E yang isinya : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat. *Ciiiyeeeh
hapal kan gue.., padahal mah googling*. Tapi masalahnya adalah, mereka
sering kali menempatkan kepentingan kelompoknya itu sebagai prioritas utama di
atas kepentingan bangsanya sendiri. Efeknya adalah…*pelototin sendiri deh tuh berita di TV, Koran, atau internet. Saya aja bosen ngeliat isinya berita tawuran
melulu. Itulah yang akhirnya bikin
saya ilfil dengan segala macam ormas,
paguyuban atau entah apapun jenisnya yang mengatasnamakan suku.
Ketika
saya pindah domisili ke negara tetangga, betapa kagetnya ketika di sana begitu
menjamur paguyuban-paguyuban yang mengatasnamakan suku. Beberapa kali dalam
setahun setidaknya mereka punya acara kumpul-kumpul bareng. Sesekali saya iseng
mengintip isi agendanya. Ternyata di salah satu butir misi mereka adalah
memberikan pengayoman kepada masyarakat sesukunya dalam segala hal selama
tinggal di negara itu. Terus… berarti kalau bukan sesuku nggak bakalan dilindungin kalau kenapa-napa
di negeri orang gitu? Cape deh, hari
gini tinggal di negeri orang bukannya
menonjolkan keindonesiaan malah masih nonjolin
suku-sukuan.
Dilalahnya, entah
ini merupakan tulah dari ke-ilfil-an
saya, beberapa siswa-siswa saya punya kecenderungan seperti itu. Saya tidak
tahu apakah mereka adalah anak dari anggota paguyuban-paguyuban itu. Intinya,
bagaimanapun juga mereka bagian dari siswa-siswi yang harus selalu saya cintai.
Di
kelas V SD misalanya, ada 3 siswa saya yang sehari-hari berbicara dengan bahasa
Jawa. Mereka adalah Bima, Arul, dan Daif. Kebetulan mereka bertiga memang siswa
pindahan dari Jawa Timur. Awalnya sih bagi saya oke-oke saja selagi untuk bahasa sehari-hari mereka di luar kelas.
Tapi, saya akhirnya terpaksa menegur mereka saat presentasi antarkelompok di
kelas.
Begini
kejadiannya: Waktu itu setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan sebuah
tips dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saat itu ketiganya
tidak tergabung dalam satu kelompok. Ketika
kebetulan Si Arul melakukan presentasi (tentunya dengan bahasa
Indonesia), Bima yang tergabung dalam kelompok lain bertanya. Awalnya dijawab
dengan baik pakai bahasa Indonesia oleh Arul. Tapi seketika Si Bima bingung, ia
spontan langsung nyerocos pakai
bahasa Jawa. Seperti nggak mau kalah
Arul pun meladeninya dengan bahasa yang sama. Jadilah keduanya bablas ngomong Jawa. Alhasil teman-teman
dari kelompok lain lain bingung planga-plongo,
kecuali satu yang paham sambil manggut-manggut : Si Daif tentunya.
Pernah
juga ketika kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa alias LDKS untuk siswa
SMP, saya kebetulan kebagian jadi
pembina di pos 4 yang khusus untuk menggembleng mereka dengan materi
kreativitas seni. Saat dua orang siswa dari salah satu kelompok saya minta
menampilkan adegan drama komedi dalam bahasa Indonesia. Karena nggak boleh menolak, mereka cuma bisa
diam. Saya tunggu sampai 5 menit, mereka pun tetap bengong. Saya pancing dengan
skenario dan beberapa anekdot, mereka garuk-garuk kepala.
“Ya
sudah, kalau begitu coba kalian ceritakan anekdot yang pernah kalian dengar,”
kata saya memberikan tawaran yang lain. Berharap siapa tahu aja ternyata ada di
antara mereka yang punya bakat jadi stand
up comedian, kali aja bisa saya poles dan kalau ngetop gw saya yang jadi
manajernya. *ngimpi.
Tapi
apa coba yang akhirnya mereka tampilkan? Ngebodor
ala Kang Ibing vs Abah Us Us dengan full
sundanese. Tiba-tiba berasa seperti nonton lawakan kabayan tanpa subtitles bahasa Indonesia. Umumnya beberapa siswa anggota
kelompok lain dan juga saya memang sukses dibuat ketawa. Tapi ketika saya
tanya, siapa yang mengerti isinya, hanya dua anak yang ngacung. Yang satu anak pindahan dari Subang, dan satunya lagi
Bandung. Klop nih ye..!
Kejadian
paling gres adalah ketika tahun ajaran baru. Bagas adalah salah satu siswa SMP
pindahan dari Bandung. Anaknya sangat pendiam. Setiap kali saya tanya,
jawabannya hanya manggut atau geleng kepala. Ketika saya suruh bikin karangan, akhirnya
dia bersuara,
“Pak ulah make basa Indonesa nyak? Abdi teh
teu terang.”
“Masa
kamu tidak bisa pakai bahasa Indonesia?”
“Abdi geus biasa nulis sunda.”
“Tapi
sekarang kamu harus biasakan juga menulis dengan bahasa Indonesia.”
Anak
itu balik lagi jadi pendiam. Saya prihatin. Terus terang saya memang baru
sekali menemukan situasi seperti ini. Tapi saya yakin di pelosok negeri kita
ada banyak anak seperti Bagas yang belum tersentuh dengan bahasa resmi
bangsanya. Lantas apa ada yang salah dengan ikrar ketiga Sumpah Pemuda?
Hingga
saat ini bagi Bagas, tugas bahasa Indonesia barangkali menjadi PR besar
baginya. Dan kasus seperti Bagas juga merupakan PR bagi besar bagi guru Bahasa
Indonesia seperti saya.
makasih ya pak, sudah mampir ke blog saya *bow down*.
ReplyDeleteAlhamdulillah jika buku2nya bermanfaat