Saat
itu saya bercerita tentang balasan anak yang suka melawan orang tua alias
durhaka. Tapi begitu mendengar kata “durhaka” mereka ternyata spontan menyebut
nama Si Malin Kundang.
“Kan
itu sudah pernah diceritain Pak,”
protes beberapa di antara mereka.
“Iya,
Bapak tahu, tapi ini ceritanya berbeda dengan kisah Malin Kundang,” kata saya ngeles. Padahal sih saya memang lupa
kalau sudah pernah cerita Si Malin Kundang hihihi.
Jadilah
waktu itu saya menceritakan peristiwa yang diambil dari kisah nyata tentang
seseorang pemuda yang harus diamputasi kakinya. Padahal penyebabnya hanya
tersandung batu saat sedang bermain bola. awalnya hanya luka bengkak, hingga
kemudian lukanya membusuk dan menjalar ke telapak kaki. Setelah diamputasi
barulah si pemuda itu sadar bahwa dulu ia pernah menendang ibunya.
“Jadi,
apa pesan moral dari cerita itu?” tanya saya seperti biasa setelah mengakhiri
cerita.
“Kita
tidak boleh durhakaaaa,” jawab sebagian besar dari mereka.
“Kalau
suka nendang orang tua, kaki kita
bisa dipotong,” kata salah satu di antara mereka dengan polosnya.
Seperti
apapun kualitas daya tangkap mereka, ternyata sejauh ini memetik pesan moral
dari sebuah cerita bukanlah perkara yang sulit. Mengubah perilaku anak melalui cerita
yang kaya akan pesan moral lebih efektif ketimbang melalui kalimat-kalimat
nasihat secara langsung. Bahkan dengan cerita, anak akan menjadi lebih
imajinatif dan kritis. Terbukti sehabis cerita biasanya mereka banyak bertanya.
“Pak,
kalau saya pernah punya salah sama ibu, masih bisa diampunin sama Allah nggak?”
kata Febri yang sedari awal hingga akhir cerita tampak merenung. Sepertinya ia
meresapi betul kisah versi lain Malin Kundang ini.
“Tentu.
Allah itu kan Maha Pengampun. Tetapi kamu pun harus meminta maaf secara
langsung kepada ibu kamu.”
“Pak,
kalau ibu kita jahat, kita boleh ngelawan nggak?”
“Yang
dimaksud jahat menurut kamu seperti apa?”
“Suka
marah-marah, suka mukulin saya Pak.”
“Kamu
tahu nggak alasan ibumu melakukan
itu?”
“Biasanya
sih gara-gara saya susah dibilangin gitu deh Pak, misalanya kalau saya susah
bangun pagi Pak.”
“Menurut
kamu sikap kamu itu benar atau salah?”
“Ya
salah sih Pak.”
“Nah,
kalau kamu tahu itu salah ya jangan lakukan lagi. Pasti ibumu tidak akan marah
dan memukul kamu lagi. Segalak apapun ibu kamu di mata kamu, sebagai anak kamu
harus tetap patuh, kecuali kalau ibumu menyuruh kamu untuk melakukan perbuatan
jahat yang melawan hukum.”
“Pak,
surga itu ada di telapak kaki ibu kan?” giliran Riki bertanya diikuti anggukan
kepala saya.
“Berarti,
kalau kita sering mencium kaki Ibu, kita pasti bakalan masuk surga ya Pak.”
“Ya
belum tentu. Maksudnya bukan harus mencium, tetapi harus berbakti. Sebesar
apapun bakti kamu terhadap Ibu kamu, itu tidak cukup menggantikan satu
tendanganmu saat dalam kandungan yang mengakibatkan rasa sakit pada perut
ibumu.”
“Lha
mana kita tahu Pak, kita kan masih bayi, masih nggak nyadar waktu nendang-nendang
di dalem perut. Masa yang itu dihitung durhaka juga.” Jawab Riki tidak puas.
Suasana
kelas mulai riuh setelah pernyataan ketidakpuasan Riki. Sepertinya mereka saat
itu menjadi kompak untuk tidak terima kalau tendangan mereka sejak bayi di
dalam perut ibunya dipersalahkan. Saya mulai khawatir, pesan moral yang tadi
sudah mereka tangkap dengan matang menjadi mentah kembali. Apalagi ketika ada
yang menyela setelah peryataan Riki.
“Pak,
yang kepingin punya anak kan ibu sama bapak kita sendiri Pak,” begitu
kata Opik, salah satu anak di kelas itu yang usia dan fisiknya memang lebih
dewasa dari yang lain, sedewasa pikirannya juga ternyata.
“Allah
memang menakdirkan semua manusia seperti itu supaya kita tidak pernah berhenti
berbakti kepada orang tua kita. Sekali lagi janganlah kita berbuat durhaka
kepada orang tua kita walau hanya membangkangnya dengan bilang ‘Ah’ ..!” jawab
saya.
“Tapi
Pak…,” sahut mereka penasaran.
“Baik,
waktu kita sudah habis, sampai ketemu besok wassalaamualaikum,” sahut saya juga
diiringi bunyi bel sekolah
“Ah...
Bapak!”