Monday, July 30, 2012

Kecil-Kecil Kunyit

Kedewasaan berpikir, berbicara, dan bertindak memang harus dimiliki oleh setiap orang. Tapi apa jadinya kalau ia datang lebih cepat sebelum waktunya. Kadang-kadang saya khawatir jika itu terjadi pada putri kecil saya.

Saya pernah menonton acara kontes menyanyi untuk anak-anak di salah satu TV swasta Indonesia. Kalau melihat bahwa acara itu bisa menumbuhkan rasa percaya diri dan bakat anak sih, oke. Tapi jika melihat mereka dari segi penampilan, baik busana maupun  gaya bicara, saya seperti  sedang melihat jiwa orang dewasa yang terperangkap dalam fisik anak-anak.

Saya sendiri tidak pernah bisa membayangkan kalau anak saya tiba-tiba berpenampilan seperti itu. Saya dan istri sejauh ini masih menikmati keluacuan dan kepolosan Keisha, puteri kecil kami. Bahkan, terkadang kami suka tidak siap kalau membayangkan seperti apa Keisha jika sudah dewasa nanti. Kami belum siap menerima kenyataan kalau-kalau seiring perkembangan usianya, Keisha tidak lagi mau bersama kami dan lebih memilih bersama teman-temannya. Dan bagaimana ya jadinya kalau dia akhirnya sudah mengenal cinta-cintaan? *Bener-bener orang tua yang parno.

Di kelas IV SD, ada salah seorang murid perempuan yang cantik, lucu, dan menggemaskan. Dari gayanya berbicara, ia memang murid yang sangat cerdas dan menyenangkan. Tapi terkadang  cara dan isi bicaranya terlalu dewasa. Kalau dekat dia, hati-hati berbicara soal masalah dewasa karena bisa jadi dia paham. Begitulah penilaian dari beberapa guru lain.

Awalnya saya sih tidak percaya. Karena itu, saya pun sesekali mengamati tingkah dan kelucuannya. Tiba-tiba saja anak itu merespon.

“Kenapa sih Bapak ngeliatin saya terus? Bapak suka ya sama saya?”

“Iya, Bapak suka sama kamu emang kenapa?”

Iiiiihhh amit-amit, nanti kalau kita punya anak, Bapak udah tua keriput, trus saya yang capek ngurusin anak sendirian!”

Awalnya saya sempat speechless dengar jawaban itu. Tapi tentu salah juga kalau membiarkan dialog itu berhenti begitu saja.

“Memang arti suka itu apa sih?” tanya saya sedikit mengetes.

“Suka ya begitu deh, demen, jatuh cinta, trus kawin deh,” jawabnya pede.

“Lho kata siapa arti suka harus seperti itu?”

“Kata saya tadi barusan.”

“Hmmm… sekarang Bapak mau tahu deh, tokoh kartun yang paling kamu suka siapa?”


“Hello Kitty sama Alice in Wonderland, emang kenapa?”

“Kenapa kamu suka dengan mereka?”

“Karena Hello Kitty itu imut, trus kalo Alice in Wonderland punya petualangan yang seru.”

“Berati nanti kamu akan kawin sama Hello Kitty dong, kan kamu suka hayoo?”

Yeeee Si Bapak… ya nggak lah. Masa saya kawin sama Hello Kitty.”

“Nah itu dia, jadi suka itu nggak berati nantinya harus kawin kan? Rasa suka Bapak ke kamu itu ya sama aja dengan rasa suka kamu terhadap Hello Kitty atau Alice in Wonderland.”

“Berarti Bapak menganggap saya imut kaya Hello Kitty gitu?” simpulnya dengan pede sambil dua jari telunjuk menempel di pipi seperti siap mau difoto.

“Ya… boleh lah tapi masih lucuan Hello Kitty.”

“Yeee Si Bapak nih…payah.”


Fiuuuuh… biarlah dibilang payah. Sebenarnya saya juga tidak tahu apakah dia paham sepenuhnya dengan penjelasan saya. Lain kali mau tidak mau, pemahaman anak itu harus sering-sering diarahkan. Minimal sekarang ini perhatian anak itu terhadap arti kata “suka” perlahan teralihkan. Karena kalau tidak, kebayaang dong tiba-tiba aja ada surat datang ke sekolah dari salah satu orang tua siswa kelas IV SD yang isinya komplain terhadap salah seorang guru yang diduga punya gejala phedopilia terhadap anaknya.

Friday, July 27, 2012

Ketika Anak Bertanya

Tiba-tiba saya teringat dengan perkataan dosen Dasar Filsafat sewaktu kuliah. Menurut beliau kebiasaan bertanya yang dilakukan oleh anak di usia dini adalah cikal-bakal yang bagus untuk menumbuhkan jiwa kritis pada dirinya saat dewasa. Sekali-kali Anda coba menghentikan bahkan melarang kebiasaan tersebut, maka saat remaja dan dewasa ia berpotensi menjadi anak yang takut untuk bertanya atau bahkan mengemukakan pendapat.

Selama saya mengajar, bisa dihitung dengan jari sebelah tangan, jumlah siswa di kelas yang doyan atau bahkan berani untuk bertanya. Bahkan ketika diadakan talk show di sekolah pun hanya sedikit yang mau bertanya. Itu pun kadang karena mereka diiming-imingi dengan bingkisan dari sponsor yang khusus menyediakan bingkisan itu bagi siswa yang bertanya. Bahkan ketika saya memancing dengan penjelasan yang bikin penasaran pun, mereka tidak bertanya. Setidaknya harapan saya, minimal mereka  bilang “Kenapa?” atau “Kok gitu?” lah. Tapi ini diam sama sekali. Lalu saya jadi penasaran, apakah jangan-jangan waktu kecil orang tua atau keluarga disekelilingnya pernah melarang, membentak, atau memarahi mereka ya waktu lagi bertanya.

Saya sih belum pernah membaca langsung penelitian yang membuktikan hal itu. Tetapi kalau dipikir-pikir rasanya masuk akal juga sih. Makanya ketika anak saya yang sekarang berusia 3 tahun sudah mulai cerewet nanya ini itu, mau nggak mau ya harus  saya tanggapi. Apapun isi pertanyaannya biarpun itu aneh, absurd, retoris, pertanyaan nggak jelas, bahkan konyol  pun ya tetap harus diladeni.

Pernah waktu jalan bareng di pelataran mall, anak saya melihat anak yang memiliki kelainan fisik di bagian matanya (juling). Tiba-tiba aja dong  dengan suara keras dia nanya, “Pa, kenapa dia ngeliatinnya begitu sih?”

Waduh, untungnya itu anak, emak, dan orang-orang di sekelilingnya pada nggak ngerti bahasa Indonesia. Tapi masalahnya ini anak nggak cuma nanya, tapi pake nunjuk ke mata itu orang segala. Dalam situasi itu saya tidak mungkin memberi penjelasan lengkap dan tepat saat itu juga.

“Sssstttt… Kei lihat di sana ada apa tuh!” kata saya refleks berusaha mengalihkan pertanyaan si bocah. Berhasil teralihkan sih, tapi semenit kemudian pikirannya kembali ke pertanyaan awal.

“Pa… Papa tadi belum jawab, kenapa olang itu ngeliatinnya begitu banget?”

Yo wiss.. akhirnya tetep juga deh harus ada waktu khusus untuk menjawab karena Keisha pasti tidak pernah puas dengan satu jawaban. Sementara untuk memberikan satu jawaban yang tepat, sederhana, dan mudah dia mengerti saja harus mikir-mikir. Jadilah kami seperti sedang wawancara. Keisha sebagai wartawan dan papanya sebagai narasumber.

Papa   : Anak itu matanya sakit.     
Kei     : Sakit kenapa?
Papa   : Dia nggak bisa liat kayak Keisha dan kayak orang-orang yang normal.          
Kei     : nolmal itu apa Pa? *nah lho kan malah nanya definisi, masa kudu jawab 
  berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Papa   : Normal itu seperti Keisha, Mama, Papa, dan orang-orang lain yang bisa
  melihat dengan sempurna.
Kei     : Iya tapi kenapa dia nggak bisa liat kayak Keisha? *jiaah balik ke
  pertanyaan pertama.
Papa   : Karena Allah menciptakan setiap orang tidak sama.
Kei     : Kenapa nggak sama?
Papa   : Supaya kita harus bersyukur, terima kasih sama Allah karena dikasih  
  sehat
Kei     : Supaya mata Keisha ngeliatnya nggak kayak begitu?
Papa   : Iya. Tapi kita juga tetap harus mau berteman dan main sama mereka.
  Kita nggak boleh sombong dan nggak boleh mengejek mereka.
Kei     : Nggak kok, tadi kan aku cuma nanya gitu doang kok. *mulai ngeyel nurun
  dari papanya.
Papa   : Iya tapi nggak boleh nanya keras-keras sambil nunjuk di depan orangnya
Kei     : Kenapa nggak boleh?
Papa   : Nanti orang itu nggak seneng, bisa marah, dan nggak mau bereteman
  sama Keisha.
Kei     : Oh gitu ya Pa. Okey *berpikir kalau dia sudah paham penjelasan papanya, 
   tapi …
Kei     : Kalo dia malah nanti aku main sama Hana aja kalo gitu.
Papa   : %$^#*^%!@@%(+_(&&%%#@$$^???... *kok jadi begitu  konklusinya ya?

Dilematis? Ya nggak juga sih. Lebih baik capek meladeni pertanyaan, daripada nantinya Keisha menjadi anak yang pendiam, malu bertanya dan sesat di jalan. Masalahnya tinggal kembali ke saya yang harus harus ekstra sabar menanggapi dan yang terpenting bisa memberikan jawaban yang tepat dengan bahasa yang sederhana. Tapi untuk hal yang terakhir ini sepertinya saya dan istri memang harus buka-buka buku dan belajar lagi. Karena baru-baru ini Keisha punya pertanyaan baru ke mamanya:

“Islam itu apa sih?"
“Allah itu kayak apa?”
“Muhammad itu siapa sih?"
"Sulga itu apa?"
"Nelaka itu apa?"
"Kenapa olang harus baik?"

Sunday, July 22, 2012

Pakai Bahasa Indonesia, Plis!**

Sebagai orang yang paling tidak suka pelajaran sejarah selama di bangku sekolah dulu, saya tentu tidak begitu banyak mengingat-ingat peristiwa sejarah bangsa ini. Kalau ada, salah satunya itu adalah sejarah Sumpah Pemuda. Itupun karena dua sebab. Pertama adalah ketika saya harus membuat naskah untuk lomba pidato siswa yang bertema “Persatuan dan Kesatuan”, sedangkan sebab kedua adalah karena ada sebuah kondisi yang membuat saya miris.

Coba bayangkan Saudara-Saudara, lebih dari ¾ abad yang lalu pemuda-pemudi bangsa kita bersusah-payah berjuang mempersatukan seluruh rakyat Indonesia yang waktu itu masih terpecah bersuku-suku supaya bisa ngelawan wong londo. Nah sekarang, ketika negeri ini udah setengah abad lebih merdeka, malah hobi bikin, kelompok, perkumpulan, ormas, atau paguyuban, atas nama kesukuan. Ampun deh!

Sebenarnya sah-sah saja sih. Toh itu adalah hak mereka yang dilindungi oleh UUD ’45 pasal 28E yang isinya : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. *Ciiiyeeeh hapal kan gue.., padahal mah googling*. Tapi masalahnya adalah, mereka sering kali menempatkan kepentingan kelompoknya itu sebagai prioritas utama di atas kepentingan bangsanya sendiri. Efeknya adalah…*pelototin sendiri deh tuh berita di TV, Koran, atau internet. Saya aja bosen ngeliat isinya berita tawuran melulu. Itulah yang akhirnya bikin saya ilfil dengan segala macam ormas, paguyuban atau entah apapun jenisnya yang mengatasnamakan suku.

Ketika saya pindah domisili ke negara tetangga, betapa kagetnya ketika di sana begitu menjamur paguyuban-paguyuban yang mengatasnamakan suku. Beberapa kali dalam setahun setidaknya mereka punya acara kumpul-kumpul bareng. Sesekali saya iseng mengintip isi agendanya. Ternyata di salah satu butir misi mereka adalah memberikan pengayoman kepada masyarakat sesukunya dalam segala hal selama tinggal di negara itu. Terus… berarti kalau bukan sesuku nggak bakalan dilindungin kalau kenapa-napa di negeri orang gitu? Cape deh, hari gini tinggal di negeri orang bukannya menonjolkan keindonesiaan malah masih nonjolin suku-sukuan.

Dilalahnya, entah ini merupakan tulah dari ke-ilfil-an saya, beberapa siswa-siswa saya punya kecenderungan seperti itu. Saya tidak tahu apakah mereka adalah anak dari anggota paguyuban-paguyuban itu. Intinya, bagaimanapun juga mereka bagian dari siswa-siswi yang harus selalu saya cintai.

Di kelas V SD misalanya, ada 3 siswa saya yang sehari-hari berbicara dengan bahasa Jawa. Mereka adalah Bima, Arul, dan Daif. Kebetulan mereka bertiga memang siswa pindahan dari Jawa Timur. Awalnya sih bagi saya oke-oke saja selagi untuk bahasa sehari-hari mereka di luar kelas. Tapi, saya akhirnya terpaksa menegur mereka saat presentasi antarkelompok di kelas.

Begini kejadiannya: Waktu itu setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan sebuah tips dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saat itu ketiganya tidak tergabung dalam satu kelompok. Ketika  kebetulan Si Arul melakukan presentasi (tentunya dengan bahasa Indonesia), Bima yang tergabung dalam kelompok lain bertanya. Awalnya dijawab dengan baik pakai bahasa Indonesia oleh Arul. Tapi seketika Si Bima bingung, ia spontan langsung nyerocos pakai bahasa Jawa. Seperti nggak mau kalah Arul pun meladeninya dengan bahasa yang sama. Jadilah keduanya bablas ngomong Jawa. Alhasil teman-teman dari kelompok lain lain bingung planga-plongo, kecuali satu yang paham sambil manggut-manggut : Si Daif tentunya.

Pernah juga ketika kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa alias LDKS untuk siswa SMP,  saya kebetulan kebagian jadi pembina di pos 4 yang khusus untuk menggembleng mereka dengan materi kreativitas seni. Saat dua orang siswa dari salah satu kelompok saya minta menampilkan adegan drama komedi dalam bahasa Indonesia. Karena nggak boleh menolak, mereka cuma bisa diam. Saya tunggu sampai 5 menit, mereka pun tetap bengong. Saya pancing dengan skenario dan beberapa anekdot, mereka garuk-garuk kepala.  

“Ya sudah, kalau begitu coba kalian ceritakan anekdot yang pernah kalian dengar,” kata saya memberikan tawaran yang lain. Berharap siapa tahu aja ternyata ada di antara mereka yang punya bakat jadi stand up comedian, kali aja bisa saya poles dan kalau ngetop gw saya yang jadi manajernya. *ngimpi.

Tapi apa coba yang akhirnya mereka tampilkan? Ngebodor ala Kang Ibing vs Abah Us Us dengan full sundanese. Tiba-tiba berasa seperti nonton lawakan kabayan tanpa subtitles bahasa Indonesia. Umumnya beberapa siswa anggota kelompok lain dan juga saya memang sukses dibuat ketawa. Tapi ketika saya tanya, siapa yang mengerti isinya, hanya dua anak yang ngacung. Yang satu anak pindahan dari Subang, dan satunya lagi Bandung. Klop nih ye..!

Kejadian paling gres adalah ketika tahun ajaran baru. Bagas adalah salah satu siswa SMP pindahan dari Bandung. Anaknya sangat pendiam. Setiap kali saya tanya, jawabannya hanya manggut atau geleng kepala. Ketika saya suruh bikin karangan, akhirnya dia bersuara,

Pak ulah make basa Indonesa nyak? Abdi teh teu terang.”

“Masa kamu tidak bisa pakai bahasa Indonesia?”

Abdi geus biasa nulis sunda.”

“Tapi sekarang kamu harus biasakan juga menulis dengan bahasa Indonesia.”

Anak itu balik lagi jadi pendiam. Saya prihatin. Terus terang saya memang baru sekali menemukan situasi seperti ini. Tapi saya yakin di pelosok negeri kita ada banyak anak seperti Bagas yang belum tersentuh dengan bahasa resmi bangsanya. Lantas apa ada yang salah dengan ikrar ketiga Sumpah Pemuda?

Hingga saat ini bagi Bagas, tugas bahasa Indonesia barangkali menjadi PR besar baginya. Dan kasus seperti Bagas juga merupakan PR bagi besar bagi guru Bahasa Indonesia seperti saya.

Catatan: *)kata “plis” belum dan mungkin sama sekali tidak akan pernah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Gunakan kata “mohon”!

Thursday, July 19, 2012

Sehari jadi Konselor

Ketika hari pertama masuk ke kelas di tahun ajaran baru dengan mengajar siswa-siswi yang juga sebagian besar baru, pasti selalu disertai semangat yang baru. Betul tidak? Saya yakin setiap guru akan mengalami hal yang sama. Kalau toh ada yang beda saya pikir itu terkait soal berapa lama semangat itu akan bertahan hehehehe.

Biasanya pantang jika di awal pertemuan sudah langsung masuk ke materi pelajaran. Efeknya bisa macam-macam. Ada yang sudah pasang muka bête. Paling banyak mereka pasti berkomentar,

“Ya... baru juga masuk Pak, masa udah belajar aja!” atau
“Pak, kita sekarang nggak belajar dulu kan ya, masih kenalan dan ngobrol-ngobrol aja kan?”

Beruntungnya saya yang mengajar Bahasa Indonesia. Waktu itu kebetulan masuk ke kelas V SD. Andalan saya di hari pertama mengajar pastilah mereka saya ajak ngobrol-ngobrol. Mereka pun senang bukan kepalang. Ternyata mereka khawatir kalau pertemuan pertama pelajaran Bahasa Indonesia pastilah mereka akan disuruh menulis karangan tentang pengalaman liburan seperti yang kebanyakan mereka alami. Padahal mereka tidak sadar, bahwa di pelajaran Bahasa Indonesia, ngobrol-ngobrol itu adalah salah satu dari 4 keterampilan dasar berbahasa yang diajarkan. Secara tidak sadar juga artinya mereka sudah masuk ke materi pelajaran di hari pertama. Hihihihi.

Untuk sisi keterampilan menulis, mereka saya suruh menulis minimal 5 kalimat tentang penilaian mereka terhadap diri mereka sendiri dan penilaian mereka terhadap pelajaran bahasa Indonesia. Biasanya tulisan ini bisa saya manfaatkan untuk mengenal karakter mereka dan memberikan perlakuan yang tepat bagi mereka selama proses belajar. Ada sih satu atau dua anak yang curiga ini bagian dari materi pelajaran di hari pertama.

“Jangan khawatir, hari ini kita belum masuk ke materi kok. Karena Bapak belum pernah mengajar kalian, jadi Bapak harus mengenal kalian dulu. Dan karena kalian juga belum saling kenal dengan teman kalian yang baru, maka sebelumnya kalian harus mengenal diri kalian sendiri dulu kan?” kata saya ngeles

Dan inilah hasil tulisan mereka disertai catatan gurunya yang sok beranalisis ala konselor:

Nama: Rara
Saya orangnya tegas… tapi nggak tegas-tegas banget. Saya suka membaca buku dan mengarang. Saya suka dengan drama. Saya juga suka pelajaran IPA. Saya suka mendengar musik klasik.
CATATAN: Hmmmm. Cukup oke nih buat jadi murid yang nantinya bisa saya andalkan untuk menjadi pemimpin kelas atau kelompok di saat pelajaran saya. Nggak sabar membaca seperti apa tulisan hasil karangannya. Pasti isinya blak-blakan namun penuh dengan harmonisasi dan “cita rasa” tulisan yang berkelas layaknya konser musik klasik. Hehehehe.

Nama: Shaq
Saya orangnya nggak suka kepanasan. Saya sangat suka main bola. Saya suka nonton acara pertandingan sepak bola. Saya suka matematika. Suka juga pelajaran b.indonesia tapi sedikit. Paling bingung kalo disuruh nulis yang panjang-panjang soalnya capek.
CATATAN: Sepertinya cocok kalau anak ini saya ajak belajar di ruangan ber-AC atau di bawah pohon beringin depan sekolah. Perlu sering-sering diajak komentar sepak bola kali ya? Kali aja bisa jadi analis atau komentator bola di Goal.com

Nama : Hesky
Saya orang yang sederhana. Saya juga kadang-kadang jahil.Saya suka bahasa Indonesia tapi kadang-kadang tergantung gurunya. Saya suka ngelawak. Kadang-kadang saya cerewet. Saya paling takut sama kecoa.
CATATAN: Saya pernah pakai metode Stand Up Comedy untuk melatih siswa SMA agar pede ngomong di depan umum. Tapi untuk anak ini, walau masih kelas V sepertinya sudah bisa saya arahkan ke sana. Oh iya. Kalau anak ini jahil tinggal saya kasih kecoa. Gampang kan?

Nama: Hafiz
Saya orangnya asyik. Saya suka mengekpresikan diri. Saya paling suka bahasa Indonesia yang ada pelajaran dramanya. Saya hobi berolahraga. Saya suka membatu ibu saya.
CATATAN: Cocok untuk berpatner dengan Rara. Bisa jadi andalan sebagai siswa yang selalu mau disuruh tampil duluan ke atas panggung karena pastinya paling pede. Benar-benar anak yang berbakti kepada orang tua. Saya doakan ilmu kamu akan bertambah banyak. Banyak teman, banyak rezeki, enteng jodoh, dan menjadi ahli surga karena kamu suka membantu orang tua. Hehehe.

Nama: Biem
Saya orangnya suka mengganggu teman. Saya sangat jahil. Saya suka pelajaran bahasa Indonesia tapi cuma yang puisi dan pantun doang. Saya tidak suka pelajaran bahasa Indonesia kalo bagian nulis dan baca karena capek. Saya tidak suka baca buku.
CATATAN: Sebenernya sih udah pernah tahu track record anak ini tahun sebelumnya yang pada akhirnya bikin dia tinggal kelas. Next time saya mungkin akan tulis cerita tentang ulah anak "istimewa" ini. Intinya, hanya hidayah tuhan lah saya rasa yang bisa menggiringnya ke perubahan sikap yang lebih baik. Tapi sementara menunggu hidayah itu datang, saya harus lebih banyak memberikannya tugas membuat puisi dan pantun untuk mengalihkan sifat jeleknya itu. Semoga!

Nama: Hana
Saya orangnya plin-plan. Pelajaran bahasa Indonesia itu paling saya suka. Saya suka membaca buku. Saya juga suka menulis, kecuali kalau disuruh menulis pengumuman. Saya suka melihat pemandangan yang indah.
CATATAN: Sesuai dengan namanya, Hana = Bunga pantas lah dia suka dengan yang indah-indah. Tapi, anak ini sepertinya mudah terpengaruh pembentukan opinynya harus diarahkan ke hal yang baik. Saya menduga kenapa dia nggak suka menulis pengumuman ya karena plin-plan menentukan tanggalnya hehehe. *analisisnya udah mulai ngaco ya

Nama: Avi
Saya itu orangnya pemarah. Tapi saya nggak suka berantem. Pelajaran yang saya suka adalah IPA, Bahasa Indonesia, Matematika sama Olahraga. Saya suka main bola. Saya tidak suka pelajaran bahasa Indonesia.
CATATAN: Dari tulisannya saja nggak konsisten. Jadi sebenarnya kamu itu suka apa benci dengan pelajaran Bahasa Indonesia sih? sepertinya di lain waktu isi perkataan anak ini tidak boleh ditelan mentah-mentah, dan jangan langsung dipercaya begitu saja. Jadi penasaran, kira-kira ini anak sebenarnya suka berantem nggak ya… *analisis yang nggak jelas

Nama Umam:
Saya nggak begitu suka bahasa Indonesia karena banyak nulisnya. Saya sukanya makan dan ngadem. Saya suka isengin temen. Saya suka main game. Saya bingung mau nulis apa lagi.
CATATAN: Kelebihan anak ini sepertinya adalah JUJUR. Sabarlah Umam, sampai sekarang saya masih bermimpi mengembangkan materi Bahasa Indonesia yang terintegrasi dengan video game untuk anak-anak seperti kamu. Tunggu saja *benar-benar catatan yang nggak mengandung solusi.

Untungnya punya murid yang jumlah sekelasnya cuma seiprit. Jadi punya banyak pilihan metode yang bisa diterapkan orang per orang hihihihi. Kebayang kan kalau jumlah siswa sekelasnya bejibun

Sunday, July 8, 2012

Menit Keenam

Di sekolah manapun, keterlambatan datang ke sekolah merupakan pelanggaran tata tertib. Yang membedakan, tiap sekolah punya sanksi atau pun toleransi tertentu terhadap siswa yang melakukannya. Demikian halnya yang berlaku di sekolah tempat saya pernah mengajar.

Biasanya sekolah hanya memberi toleransi 5 menit keterlambatan untuk dapat masuk kelas tanpa sanksi. Kalau ada konsekuensi yang diterima paling-paling hanya beberapa menit ketinggalan pelajaran. Tetapi, bagi beberapa siswa tampaknya konsekuensi itu tidak seberapa merugikan. Kalau toh ada yang lebih merugikan paling-paling perihal berkurangnya air di botol minum yang habis sebagian ditenggak setelah harus lari kencang dari halte bus depan sekolah. Tetapi lain soal bagi mereka yang finis di menit keenam. Guru piket pasti akan menanti di depan ruangan kecil di pojok dekat tangga sebelah timur.

Secara administratif, ada tiga tahap yang harus dilakukan guru piket pada saat itu. Yang pertama adalah mendata nama-nama siswa beserta asal kelas mereka. Pada tahap ini proses pedataan akan sangat merepotkan karena pendataan dilakukan orang per orang secara manual, tidak secara kolektif. Penyebabnya karena setiap anak memiliki akumulasi keterlambatan yang berbeda-beda. Akumulasi itulah yang dijadikan pedoman dalam pemberian sanksi. Akumulasi keterlambatan sebanyak 5 kali akan mendapat surat peringatan pertama atau SP I yang akan dikirimkan langsung kepada orang tua dari siswa yang bersangkutan. Bagi siswa yang berlatar keluarga disiplin tinggi dan menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban moral yang baik, SP I adalah sebuah aib bagi orang tuanya. SP I bisa menjadi bencana sesaat bagi siswa karena dengan sepucuk surat itulah lazimnya ia akan melewati masa-masa tidak mengenakan seperti aneka teguran, omelan, atau sanksi-sanksi lain seperti larangan tidur malam atau larangan bermain video game yang diberlakukan leh orang tua mereka. Hal itu biasanya cukup baik memberikan efek jera bagi siswa. Namun, efek jera itu tidak selalu muncul pasca SP I. Rama contohnya. Siswa kelas IX tersebut pada hari itu baru saja menggenapi akumulasi keterlambatannya menjadi 6 kali, yang artinya menurut aturan yang berlaku, ia harus dipulangkan. Dan inilah reaksi Rama kepada saya ketika vonis pulang itu dijatuhkan kepadanya:

“Ya sudah deh Pak, saya nelepon supir saya dulu ya. Sambil nunggu dijemput, saya boleh sarapan dulu ya Pak?”

Apakah Rama kapok? Sepertinya tidak. Kepulangan siswa atas keterlambatan yang terakumulasi sebanyak 6 kali berarti sebuah “pemutihan”. Artinya, keterlambatan berikutnya (keenam) dihitung lagi sebagai keterlambatan pertama pascavonis “pulang”. Dan dalam catatan keterlambatan yang saya pegang ternyata Rama pernah 3 kali dipulangkan.

Tahap kedua dari proses administrasi guru piket adalah meminta siswa untuk mengisi lembaran surat izin masuk kelas dengan format isian berupa nama, kelas, dan tentunya alasan keterlambatan. Bisa ditebak, untuk isian alasan keterlambatan jawaban paling banyak adalah MACET. Ya iya lah... dari orok sampe nenek-nenek juga tau, mana ada Jakarta nggak macet *colek Bang Kumis.

Tahap ketiga, ini yang paling memusingkan, yaitu pemberian sanksi. Inilah tahap ketika seorang guru piket harus dituntut bersikap tegas dan hati-hati. Karena selain “SP“ dan “dipulangkan”, tidak ada sanksi khusus terhadap keterlambatan mereka pada saat itu.  Semester lalu, keterlambatan paling banyak terjadi di hari Kamis. Pada hari itu jam masuk sekolah lebih cepat 15 menit dari hari biasa untuk diisi dengan tadarus bagi yang muslim dan kegiatan keagamaan lainnya bagi yang nonmuslim. Seperti biasa, memasuki menit keenam berarti mereka yang terlambat harus lapor, kemudian mengisi format surat izin masuk. Karena tidak adanya sanksi yang jelas, pada saat itu kami memberikan ganjaran berupa setoran hapalan ayat surat-surat Juz ‘Ama. Maka inilah masalah yang muncul:

Kami sebagai guru piket saat itu tidak memiliki data tentang surat apa saja yang sudah dihapal oleh setiap siswa. Sehingga, ketika diminta untuk menyetorkan hapalan ayat yang kami tentukan, mereka berdalih,

“Hapalan saya belum sampai ke situ pak.”
“ Ya sudah surat apa yang sudah kamu hapal?” tanya saya.

Dan ternyata saya sadar bahwa pertanyaan itu sangatlah bodoh karena dengan sumringahnya siswa itu menjawab,

“Surat Al-Insyiroh Pak,” sebuah surat pendek yang pastinya sangat mudah dihapal oleh kebanyakan siswa.

Jelaslah bagi mereka itu tidak seperti hukuman, melainkan hanya layaknya mengucapkan password dalam telekuis di radio untuk maju ke tahap berikutnya. Tetapi yang lebih bodoh dan konyol lagi jika situasi yang terjadi justru sebaliknya, seperti berikut ini:

“Sudah sampai di mana hapalan kamu? tanya saya.

“Surat An-Nazi’at Pak,” jawab Bima, dengan bangga. Pantas sejak tadi siswa itu tampak percaya diri walaupun datang terlambat. Pastinya ia merasa lebih aman karena kemampuan hapalannya telah melampaui teman-temannya. Setidaknya ia hanya butuh menghapal satu surat lagi untuk bisa mendapatkan predikat tahfidz juz ke-30. Predikat ini memang wajib disandang oleh seluruh siswa muslim karena merupakan bagian dari profil lulusan sekolah ini .

“Baik, silakan!,” perintah saya dengan tegas kepada Bima untuk memulai melantunkan hapalan suratnya itu. Namun tak ada yang tahu bahwa di balik ucapan tegas itu tersipan rasa malu yang sedemikian besar dan tak terkira. Terucaplah sebaris doa:

“Ya Allah Yang Mahakuasa. Demi segala kuasamu mengendalikan apa yang ada dalam pikiran setiap manusia. Janganlah sedikitpun Engkau alihkan pikiran dan konsentrasi Bima, muridku yang baik nan soleh ini, selagi ia melantunkan ayat-ayatMu Ya Allah. Jagalah kekhusyuannya dari segala gangguan yang ditimbulkan oleh jin dan syaitan serta aneka mahluk ciptaanMu. Amiin ya robbal alamiiin.”

Ayat demi ayat yang dilantunkan Bima makin membuat saya gemetar. Namun bukan sebab saya memahami makna yang terlontar.  Maka dalam hati terucaplah kalimat istigfar,

“Astaghfirullaah al aziiim.”

Tuhan sesunguhnya tidak akan memberikan cobaan di luar batas kesanggupan umatNya. Saya yakini itu betul-betul. Karena itulah sebabnya Tuhan tidak membuat Bima lupa atau salah melafalkan ayat-ayat-Nya. Betapa Tuhan tahu betul saya tidak akan sanggup memandu atau mengoreksi satu ayat, bahkan sepenggal kata pun jika itu terjadi.

Masalah lain, sanksi menghapal ayat Juz ‘Ama benar-benar cukup menyita waktu dan konsentrasi karena batas hapalan surat pada setiap siswa berbeda-beda, sehingga harus dilakukan secara perorangan. Sementara, sanksi ini jelas tidak bisa berlaku bagi siswa yang nonmuslim. Sehingga, dalam hal ini mereka sering terabaikan. Solusinya, mereka harus duduk sendiri mempelajari kitab sucinya masing-masing.

Sampai pada suatu ketika, tanpa sebab yang jelas masa berlaku sanksi berupa setoran hapalan ayat ini habis begitu saja. Hampir dua minggu berlalu, nyaris tak ada lagi lantunan ayat-ayat Juz ‘Ama dari mulut siswa yang terlambat. Entahlah, saya sendiri juga tidak paham mengapa itu terjadi. Barangkali perangkat lunak sistem aturan main sekolah mengenai sanksi keterlambatan sudah secara otomatis menghapus jenis sanksi itu dari data base-nya karena dianggap tidak efektif atau bahkan tidak relevan dengan tujuan yang diinginkan : membuat siswa disiplin.

Pada masa kekosongan itu saya sesekali memberlakukan sanksi klasik yang lazim diterapkan pada masa saya sekolah dulu: lari keliling lapangan. Tetapi secara ekstrim saya lantas teringat dengan kasus kekerasan mahasiswa STPDN,  sebuah kasus yang membuat masyarakat makin sangat gencar menuntut dihapuskannya sistem pemberian sanksi berupa fisik terhadap anak didik. Dan sanksi itu pun akhirnya tidak saya lakukan lagi. Ini bukan soal takut dikritik orang tua siswa, melainkan lebih tepatnya adalah tidak mau mengambil risiko atas hal-hal buruk yang terjadi pada siswa. Padahal saya paham betul, tidak semua sanksi fisik itu buruk dan tidak semua sanksi nonfisik dapat membuat anak bertambah baik. Barangkali itulah salah satu yang menyebabkan mental anak-anak jaman sekarang lebih lembek daripada anak-anak yang hidup di masa lalu.


Jenis sanksi keterlambatan pada akhirnya berujung pada sebuah perlakuan yang cukup efektif. Adalah sang Kepsek, yang pada suatu ketika turun tangan mengambil alih tugas kami sebagai guru piket. Dengan suara yang cukup lantang, beliau mengumpulkan anak-anak ke tengah lapangan. Ternyata mereka diminta untuk mengumpulkan sampah yang terlihat masih berserakan di lingkungan sekolah. Sebuah aktivitas yang sangat meringankan beban sang Pramubhakti sekolah. Meski pagi itu sekolah sudah tampak bersih dari sampah, anehnya siswa-siswa itu tetap bisa menggengam sejumlah sampah di tangannya. Entah, apakah memang kerja pramubhakti yang belum bersih benar, atau mungkin siswa-siswa yang sudah makin kreatif. Karena, di pojok koridor timur terlihat Dika siswa kelas VII mengoyak kertas dari buku tulisnya dan menggumpalkannya menjadi sebuah sampah yang seakan-akan baru ia pungut dari tanah.

Thursday, July 5, 2012

Bagi-Bagi Rapot

Kalau ngomongin soal bagi-bagi rapot, ada banyak cerita di dalamnya.

Buat kebanyakan orang, rapot adalah dokumen paling “sakral” setelah ijazah. Untuk apa sekolah kalau tanpa rapot. Meski hakikat pendidikan intinya merupakan sebuah proses, rapot tetaplah sebagai gambaran bukti ketercapaian proses itu. Isinya memang hanya berupa angka-angka. Namun, angka-angka itu menjadi segala-galanya bagi mereka.

Karena angka yang berbicara atas segala-galanya, maka rapot pun harus dibuat dengan tingkat ketelitian yang tinggi dan penuh dengan pertimbangan ini dan itu. Jadi, kalau ada rutinitas yang paling menyibukkan bagi guru selama satu tahun pelajaran pastinya adalah pada saat jelang bagi-bagi rapot. Pada saat itu mereka harus mengutak-atik angka-angka yang diolah dengan rumus tertentu untuk menghasilkan sebuah nilai akhir yang nantinya akan tertera pada halaman rapot.

Beruntunglah bagi mereka yang mengajar di sekolah yang jumlah siswa per kelasnya sedikit dan sudah menerapkan sistem komputerisasi dalam pengolahan nilainya. Kebayang kan kalau mengajar di sekolah yang jumlah siswa perkelasnya 40 siswa dan pengisian rapotnya masih manual alias tulis tangan. Berhadapan dengan angka-angka pastinya berasa seperti tokoh Simon di film Mercury Rising. Saat itu akan terlihatt betapa sibuknya para wali kelas mempersiapkan rapot layaknya mempersiapkan hajatan anaknya yang mau disunat.

Yang terkadang bikin repot lagi sebenaranya adalah pada saat prapengisian rapot untuk kenaikan kelas. Biasanya pada saat itu ada rapat penentuan kenaikan kelas oleh kepala sekolah dan seluruh guru. Dalam rapat tersebut setiap walikelas melaporkan hasil olahan nilai untuk rapot siswa-siswinya. Kalau laporannya menunjukkan bahwa nilai semua siswa di kelasnya memenuhi syarat untuk naik kelas, maka rapat pun akan berjalan lancar. Tapi lain soal kalau dalam laporan itu ada salah satu saja siswa yang nilainya tidak memenuhi syarat naik kelas. Di sinilah biasanya rapat bisa berlangsung alot.

Perdebatan biasanya terjadi antarsesama guru dan juga dengan kepala sekolah. beberapa guru yang idealis biasnya keukeuh memberikan nilai rapot apa adanya. Kalau toh konsekuensinya si siswa tidak naik kelas itu bukanlah aib bagi sekolah atau pun siswa, melainkan sebuah pembelajaran. Memaksa menaikkan siswa tersebut justru akan mempersulit siswa yang bersangkutan dan juga sekolah di saat Ujian Nasioanl nanti. Namun bisanya tidak demikian pendapat guru yang lain atau bahkan kepala sekolah. Bagi sekolah-sekolah unggulan, bisanya menjadi aib apabila ada siswanya yang tidak naik kelas. Reputasi sebagai sekolah unggulan akan turun. Logika yang diterima masyarakat adalah kalau sekolah unggulan pasti siswa-siswinya juga “unggul”.

Teman saya yang mengajar di sekolah unggulan lain pernah bercerita. Ketika tidak ada titik temu dari perdebatan semacam itu, jalan tengah yang diambil adalah tetap memberikan kenaikan kelas, namun siswa tersebut dipaksa pindah ke sekolah lain.

Pernah juga ada siswa yang terpaksa harus dinaikan dengan alasan-alasan tertentu. Di sekolah unggulan ada kalanya terdapat beberapa siswa “titipan” entah itu anak pejabat, atau anak pemilik yayasan sekolah yang terkadang otaknya pun pas-pasan. Sekeras apapun upaya guru, sulit membuat anak tersebut memiliki kualifikasi rata-rata siswa di sekolah itu. Men-tidak naik-kan anak tersebut pun jelas tidak mungkin. Maka konsekuensinya nilai anak itu pun didogkrak hingga bisa naik kelas.

Lain lagi dengan cerita yang terjadi di sebuah sekolah yang bukan unggulan. Seorang siswa pernah dinaikkan dua tahun berturut-turut atas dasar belas kasihan. Siswa itu adalah anak semata wayang yang menjadi harapan satu-satunya bagi orang tuanya. Hidup mereka pas-pasan. Dan parahnya tidak ada satu pun sekolah lain yang mau menerima.

Beruntung ketika diberi kesempatan menjadi wali kelas, saya hanya mengalami satu kali untuk tidak menaikkan kelas. Siswa yang jadi korban sebenarnya adalah anak yang baik. Tapi 5 bidang studi nilainya jatuh. Masalahnya ternyata ada pada orang tuanya yang selalu mengekang waktu anaknya mulai dari pulang sekolah sampai waktu tidur malam. Tidak ada waktu bermain, bersosialisasi, termasuk belajar. Yang ada hanya membantu orang tua dan menjaga adik-adiknya. Alhasil, siswa itu benar-benar terpukul menerima kenyataan tinggal kelas. Beruntung akhirnya orang tua siswa itu sadar dan menyemangati anaknya yang terduduk lemas menangis sesegukan. Terlambat memang. Tapi barangkali memang harus ada yang dikorbankan untuk membuat seseorang tersadar akan kekeliruannya.

Cerita soal bagaimana respon para siswa dan orang tua mereka pascavonis tidak naik kelas memang unik. Kebanyakan tentu mereka sangat sedih dan kecewa. Sebijaksana apapun guru memberikan penguatan kepada siswa bahwa tidak naik kelas bukanlah sebuah akhir; dan sebanyak apapun guru memberikan contoh kisah tentang orang-orang sukses setelah bangkit dari kegagalan, tetap saja mereka menganggap tidak naik kelas = aib.

Yang parah kalau orang tuanya ikutan naik darah. Sasaran tembaknya antara dua: marah-marah ke anaknya sendiri atau kalau tidak memaki-maki guru dan kepala sekolah. Rekan saya yang sudah jadi kepala sekolah pernah bercerita, salah satu orang tua yang anaknya tidak naik kelas datang menghadap. Dia tidak memaki-maki memang, tapi secara “halus” meminta kepala sekolah menaikkan anaknya sambil meletakkan pistol di atas meja kepala sekolah. Gimana nggak horror tuh.

Walau begitu, banyak juga orang tua yang dengan bijak menerima dan bahkan ikut menguatkan semangat anaknya. Orang tua model begini nih pasti paham soal pendidikan. Setidaknya, mereka cukup meringankan tugas guru untuk memberikan penguatan kepada anak.

Di sekolah unggulan, kasus tidak naik kelas jarang atau bahkan tidak penah saya jumpai. Tapi bukan berarti protes dan caci maki orang tua kepada guru ataupun kepala sekolah juga tidak ada. Bahkan kadang lebih konyol. Pernah ada pasangan orang tua siswa yang kebetulan berprofesi sebagai seniman, tidak terima jika nilai pelajaran kesenian anaknya mendapat nilai 78. Menurut mereka anaknya pantas mendapat nilai 90. Si orang tua tidak mau tahu walaupun guru keseniannya sudah menjelaskan bahwa ketika praktik menyanyi solo, suara si anak luar biasa fales. Nilai rapot memang tidak bisa diganggu gugat, namun nama dan reputasi guru kesenian itu dicoreng-moreng abis di depan orang tua murid lain dan bahkan para calon orang tua murid yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah itu.

“Hati-hati sama guru kesenian itu, ngajarnya nggak bener. Baca partitur aja nggak bisa!” begitu kasak-kusuk bernada nyinyir yang sering terdengar. Benar-benar pembunuhan karakter ya.

Tapi di balik duka, pasti ada suka. Tapi cerita ini umumnya terjadi di sekolah-sekolah unggulan yang notabene siswanya dari kalangan ortu yang tajir. Urusan siswa bermasalah nilai, paling kasusnya hanya 1 persen. Selebihnya, tidak ada masalah. Jadi jangan heran betapa berlebihannya wujud rasa terima kasih para orang tua siswa kepada wali kelasnya saat datang untuk mengambil rapot. Berdasarkan pengamatan saya, setiap wali kelas yang selesai membagikan rapot di kelasnya, akan kembali ke ruang guru dengan tangan yang penuh dengan jinjingan berisi beragam bingkisan. Bahkan mereka tak segan-segan membuka bingkisan itu di depan para guru yang lain. Ada yang isinnya jam tangan, handphone terbaru, baju, tas bermerek, bahkan segepok uang tunai.

“Berangkat kerja naik ojek, pulang kayaknya harus sewa dua bajaj nih”, celetuk salah seorang guru menyindir. Saya dan beberapa guru debutan yang tidak jadi wali kelas cuma bisa nyengir kuda.

Jadi, ya begitulah nasib menjadi wali kelas jelang dan saat bagi rapot. Sudah lelah fisik, batin pun kadang ikutan dibikin letoi. Tapi begitu tahu bahwa sesudahnya happy ending, posisi wali kelas bagi guru-guru ibarat jabatan “basah” di kantor PNS, semua pasti mau.

Tapi ada salah seorang teman saya yang ngebet banget jadi wali kelas bukan karena soal dapat bingkisan-bingkisan itu, melainkan karena satu alasan:
“Saya pengen banget bisa tanda tangan di rapot supaya nanti tanda tangan saya bisa dikenang siswa ketika mereka udah jadi pejabat,” katanya dengan penuh harap.

Belakangan setelah saya pindah dari sekolah unggulan itu, harapan teman saya terwujud. Ia akhirnya jadi wali kelas. Semoga saja siswanya ketika kelak jadi pejabat benar-benar nggak lupa sama wali kelasnya itu.