Tanpa
harus membahas benar atau tidaknya teori di atas, saya hanya ingin menceritakan
pengalaman saya ketika berhadapan dengan siswa-siswa yang caper ini. Walaupun sering bikin jengkel, terkadang siswa-siswa
yang caper ini menarik untuk diamati,
terutama untuk mengetahui sebab-musabab ke-caper-an
mereka. Bagi saya caper
itu sesuatu banget
Sebenarnya
bukanlah sebuah masalah apabila mereka caper
dengan tingkah laku yang positif. Ini juga sering saya amati. Misalanya ketika
hari pertama masuk kelas pada tahun ajaran baru, sering saya menjumpai beberapa
siswa yang berusaha caper dengan cara
keseringan bertanya. Sasaran mereka biasanya ya guru dan juga teman-teman
sekelasnya yang masih baru. Mereka caper seolah
untuk menunjukkan kepada guru dan teman-teman barunya bahwa dia bukanlah anak
yang pendiam, melainkan anak yang pintar, aktif, supel, percaya diri, dan patut
diperhitungkan. Dengan begitu, nantinya dia akan berpotensi menjadi anak yang
eksis di mata guru dan teman-temannya.
Namun
lain soal kalau mereka caper dengan
cara-cara yang negatif. Berdasarkan pengamatan saya, karena tingkah caper-nya negatif, mereka ini hanya caper kepada orang atau sekelompok
tertentu, tidak diumbar ke semua orang apalagi guru. Karena itu, kadang-kadang
tingkah laku negatif mereka luput dari perhatian guru.
Suatu
hari di kelas 9 SMP, Doni, salah seorang siswa laki-laki menundukkan kepalanya
hampir pada sepanjang jam pelajaran saya. Ketika sesekali saya pancing dia untuk
menjawab pertanyaan, dia baru mau mengangkat kepalanya namun selalu menutupi
sebelah kiri mukanya dengan telapak tangan. Saya lalu berjalan mendekatinya.
“Kenapa
muka kamu Don, kok ditutupi?”
“Nggak apa-apa Pak.”
“Jangan
bohong deh kamu! Kalau memang nggak ada apa-apa coba Bapak lihat!”
“Jangan
Pak, saya malu.”
Belum
sempat saya meneruskan interogasi kepada si Doni, tiba-tiba beberapa temannya nyeletuk,
“Ah,
boong Pak, tadi kalau di depan Gaby
mukanya diunjukin!”
“Oyo
Doni, tunjukkan muka kamu, Bapak mau lihat!” suara saya mulai tegas.
Setengah
ketakutan dengan suara saya yang mulai terdengar keras, Doni pun akhirnya
membuka tangan yang menutupi sebelah kiri wajahnya. Ternyata di wajahnya memang
terlihat memar.
“Kamu
berkelahi?”
“Nggak Pak. Ini habis jatuh dari sepeda.”
Jelas
saya tidak percaya dengan pengakuannya. Tetapi, saya tidak langsung meneruskan
interogasi kepada Doni di depan teman-temannya saat itu. Baru pada saat saya
ajak bicara empat mata di ruangan, barulah dia mengaku kalau luka memar itu
dibuatnya sendiri dengan membenturkan mukanya didinding. Mau alasannya?
Ternyata Doni cuma membutuhkan perhatian dari Gaby, teman perempuan satu kelas
yang sangat disukainya. Selama ini ternyata Gaby memandang Doni sebagai
laki-laki yang nggak gaul, penakut, dan anak mami. Jadi dalam pikiran Doni, memar
diwajahnya itu bisa membuat Gaby menilai bahwa Dhoni benar-benar “lelaki”. Lain
kali kalau mau diperhatikan cewek pujaan,
konsultasi dulu ke bapak ya Don!
Lain
lagi kisah Arman, siswa kelas 8 SMP. Di sekolah, hampir semua guru punya
keluhan terhadap sikapnya yang tidak pernah semangat belajar, dan terutama
kelakuannya yang sering bolos. Iseng-iseng saya pernah coba melihat di wall akun facebook miliknya. Ternyata, ya ampun, melankolis sekali isi status-statusnya.
Semua ditujukan ke sang pacar yang merupakan kakak kelasnya. Pantesan, semalas-malasnya Arman, ketika
diberikan maeri menulis puisi bebas, ia dengan cepat mampu membuatnya dengan
pilihan kata dan rima yang bagus.
Saya
pernah mengajak Arman bicara, tapi sulit untuk membuatnya mau terbuka. Saya
coba telepon orang tuanya, tapi tak ada yang menjawab. Akhirnya saya meminta
rekan guru perempuan untuk melakukan pendekatan ke pacarnya. Usaha itu cukup
membuahkan hasil. Karena pacarnya Arman berhasil mengultimatum Arman untuk
putus apabila Arman tidak mengubah sikapnya. Dan ajaibnya, ultimatum itu ampuh.
Lebih ampuh dari ancaman-ancaman yang diberikan guru-gurunya.
Belakangan
sikap Arman puh lebih baik dan mulai mau terbuka. Tapi saya tetap penasaran
ingin sekali berbicara dengan orang tuanya. Hingga pada jelang pembagian rapor
ada sms masuk ke ponsel saya.
“Pak,
apakah anak saya naik kelas? –Ibunya Arman-“
“Kami
baru akan mengumumkan saat pengambilan rapot minggu depan Bu. Karenanya kami
mengharapkan kehadiran orang tua siswa sesuai dengan undangan yang sudah kami
sampaikan.”
“Mau
tanya Pak, memang sebenarnya si Arman anak saya ini kelas berapa ya?”
What…???? Maunya sih tinggal saya reply aja tuh sms dengan cuma ngetik angka “8”. Tapi pertanyaan ibu
itu benar-benar membuat saya gregetan
hingga akhirnya saya memutuskan untuk meneleponnya langsung meski tidak
diangkat.
Tidak
heran kalau dari hasil curhatan Arman sempat terungkap kebencian Arman terhadap
ibunya yang tidak pernah sedikit pun menaruh kepercayaan kepada Arman. Arman
mengaku bahwa ia ingin ibunya percaya bahwa ia telah berubah. Tapi, di mata
Ibunya, Arman tetaplah bukan anak baik meski Arman merasa sudah berusaha untuk
berubah. Tidak heran juga jika akhirya Arman sangat menyayangi sosok sang pacar
yang selama ini lebih memperhatikan dan menaruh kepercayaan terhadapnya.
Berdasarkan
pengakuan Arman, ibunya tidak suka jika Arman pacaran. Ibunya pun bahkan
meminta Arman untuk memilih ibunya atau pacarnya. Dengan tidak ragu, Arman
memutuskan memilih pacarnya.
Entah
apakah itu keputusan yang tepat atau tidak. Karena, sekarang sikap Arman telah
berubah 180 derajat. Kini, Arman adalah anak baik di sekolah. Belum sekalipun
ia membolos. Ia sangat santun kepada semua guru. Dan semua guru pun telah
menaruh kepercayaan yang baik terhadapnya. Ia selalu tepat waktu mengumpulkan
tugas dan aktif mengikuti setiap pelajaran di kelas.
Saya
kini belum tahu kabar hubungan Arman dengan ibunya. Karena hingga saat ini,
rapot Arman selama dua semester masih tersimpan di laci karena belum sekalipun
orang tuanya berniat datang untuk mengambilnya.
No comments:
Post a Comment