Friday, August 17, 2012

Tentang Dongeng Anak Durhaka

Seperti biasa, sebelum mengakhiri kegiatan belajar di kelas IV, siswa-siswa menodong saya untuk mendongeng. Mengingat stok cerita yang saya hapal semakin menipis, kadang-kadang saya terpaksa mengarang cerita sendiri yang biasanya diadaptasi dari pengalaman orang lain, berita, atau dari cerita-cerita di sinetron film. Yang terpenting, asal ada pesan moral buat mereka.

Saat itu saya bercerita tentang balasan anak yang suka melawan orang tua alias durhaka. Tapi begitu mendengar kata “durhaka” mereka ternyata spontan menyebut nama Si Malin Kundang.

“Kan itu sudah pernah diceritain Pak,” protes beberapa di antara mereka.

“Iya, Bapak tahu, tapi ini ceritanya berbeda dengan kisah Malin Kundang,” kata saya ngeles. Padahal sih saya memang lupa kalau sudah pernah cerita Si Malin Kundang hihihi.

Jadilah waktu itu saya menceritakan peristiwa yang diambil dari kisah nyata tentang seseorang pemuda yang harus diamputasi kakinya. Padahal penyebabnya hanya tersandung batu saat sedang bermain bola. awalnya hanya luka bengkak, hingga kemudian lukanya membusuk dan menjalar ke telapak kaki. Setelah diamputasi barulah si pemuda itu sadar bahwa dulu ia pernah menendang ibunya.

“Jadi, apa pesan moral dari cerita itu?” tanya saya seperti biasa setelah mengakhiri cerita.

“Kita tidak boleh durhakaaaa,” jawab sebagian besar dari mereka.

“Kalau suka nendang orang tua, kaki kita bisa dipotong,” kata salah satu di antara mereka dengan polosnya.

Seperti apapun kualitas daya tangkap mereka, ternyata sejauh ini memetik pesan moral dari sebuah cerita bukanlah perkara yang sulit. Mengubah perilaku anak melalui cerita yang kaya akan pesan moral lebih efektif ketimbang melalui kalimat-kalimat nasihat secara langsung. Bahkan dengan cerita, anak akan menjadi lebih imajinatif dan kritis. Terbukti sehabis cerita biasanya mereka banyak bertanya.

“Pak, kalau saya pernah punya salah sama ibu, masih bisa diampunin sama Allah nggak?” kata Febri yang sedari awal hingga akhir cerita tampak merenung. Sepertinya ia meresapi betul kisah versi lain Malin Kundang ini.

“Tentu. Allah itu kan Maha Pengampun. Tetapi kamu pun harus meminta maaf secara langsung kepada ibu kamu.”

“Pak, kalau ibu kita jahat, kita boleh ngelawan nggak?”

“Yang dimaksud jahat menurut kamu seperti apa?”

“Suka marah-marah, suka mukulin saya Pak.”

“Kamu tahu nggak alasan ibumu melakukan itu?”

“Biasanya sih gara-gara saya susah dibilangin gitu deh Pak, misalanya kalau saya susah bangun pagi Pak.”

“Menurut kamu sikap kamu itu benar atau salah?”

“Ya salah sih Pak.”

“Nah, kalau kamu tahu itu salah ya jangan lakukan lagi. Pasti ibumu tidak akan marah dan memukul kamu lagi. Segalak apapun ibu kamu di mata kamu, sebagai anak kamu harus tetap patuh, kecuali kalau ibumu menyuruh kamu untuk melakukan perbuatan jahat yang melawan hukum.”

“Pak, surga itu ada di telapak kaki ibu kan?” giliran Riki bertanya diikuti anggukan kepala saya.

“Berarti, kalau kita sering mencium kaki Ibu, kita pasti bakalan masuk surga ya Pak.”

“Ya belum tentu. Maksudnya bukan harus mencium, tetapi harus berbakti. Sebesar apapun bakti kamu terhadap Ibu kamu, itu tidak cukup menggantikan satu tendanganmu saat dalam kandungan yang mengakibatkan rasa sakit pada perut ibumu.”

“Lha mana kita tahu Pak, kita kan masih bayi, masih nggak nyadar waktu nendang-nendang di dalem perut. Masa yang itu dihitung durhaka juga.” Jawab Riki tidak puas.

Suasana kelas mulai riuh setelah pernyataan ketidakpuasan Riki. Sepertinya mereka saat itu menjadi kompak untuk tidak terima kalau tendangan mereka sejak bayi di dalam perut ibunya dipersalahkan. Saya mulai khawatir, pesan moral yang tadi sudah mereka tangkap dengan matang menjadi mentah kembali. Apalagi ketika ada yang menyela setelah peryataan Riki.

“Pak, yang kepingin punya anak kan ibu sama bapak kita sendiri Pak,” begitu kata Opik, salah satu anak di kelas itu yang usia dan fisiknya memang lebih dewasa dari yang lain, sedewasa pikirannya juga ternyata.

“Allah memang menakdirkan semua manusia seperti itu supaya kita tidak pernah berhenti berbakti kepada orang tua kita. Sekali lagi janganlah kita berbuat durhaka kepada orang tua kita walau hanya membangkangnya dengan bilang ‘Ah’ ..!” jawab saya.

“Tapi Pak…,” sahut mereka penasaran.

“Baik, waktu kita sudah habis, sampai ketemu besok wassalaamualaikum,” sahut saya juga diiringi bunyi bel sekolah

“Ah... Bapak!” 

No comments:

Post a Comment