Monday, August 6, 2012

Peta Buta & Buta Arah

Kalau saja siswa-siswa zaman sekarang dibawa pergi dengan mesin waktu milik Doraemon untuk ngintip ke masa-masa sekolah saya dulu, pasti mereka bakal ngakak guling-guling ketika mendengar ada pelajaran yang namanya Peta Buta. Mereka yang penasaran pasti langsung bertanya. Pelajaran jenis apakah itu? Sejenis permainan petak umpet kah?

Jangankan mereka, ketika pertama kali dengar nama pelajaran itu saat masih duduk di kelas IV SD saja saya juga tertawa geli. Waktu itu saya membayangkan sebuah buku atlas yang tebal, memakai kaca mata hitam, dan sambil memegang tongkat. Sangat konyol memang, tapi walau begitu pelajaran tersebut menjadi salah satu pelajaran favorit saya saat SD. Terbukti, sampai saat ini maanfaatnya benar-benar bisa saya rasakan.

Mengenal peta setidaknya dapat memperkuat insting seseorang untuk mengetahui arah mata angin di mana pun ia berada. Sehingga misalnya sedang  tersesat di jalan pun terkadang mereka dapat menemukan jalan keluar. Sepertinya inilah salah satu hal yang membedakan antara orang-orang produk didikan zaman sekarang dengan zaman-zaman sebelumnya.

Kalau tidak percaya, coba deh sekali-kali ketika Anda bertanya soal arah jalan kepada bapak-bapak ketika Anda tersesat. Biasanya jawaban mereka sangat khas, “Oh lurus saja ke timur, trus ambil belokan yang ke arah ngidul (selatan- red.)” Yakin deh, setelah dengar jawaban itu, yang nanya langsung kebingungan mencari-cari mana timur, mana barat, mana ngidul, sambil bilang, “Mana kompas, mana kompas…” Boleh-boleh aja sekarang mereka terbantu dengan  teknologi GPS. Tapi yang namanya teknologi, tentu tidak akan dapat diandalkan setiap saat.

Sampai sekarang saya heran mengapa sekarang pelajaran itu secara khusus sudah tidak ada lagi di sekolah umum. Meski tetap ada pelajaran IPS terpadu untuk SD dan SMP, dan Geografi untuk SMA, materi membaca peta hanya ada secuil.

Saya geregetan waktu ada salah seorang siswa kelas XII SMA bertanya, “Pak, Mexico itu di benua Afrika ya?”

“Masa kamu nggak tahu Mexico di mana? Coba kamu lihat peta di dinding sebelah kanan kamu!”

“Oh ini dia ya pak, ketemu.” Jawabnya dengan muka puas. Saya juga senang dia bisa menemukan Mexico di peta, hingga akhirnya rasa senang saya berubah menjadi prihatin kembali saat dia bilang,

“Bener kan Pak berarti Mexico ada di Benua Afrika?” tetap dengan muka tetap merasa puas. 

Masalah tidak sampai di situ. Sewaktu upacara pramuka, biasanya siswa-siswa berbaris di lapangan dengan rapih layaknya barisan tentara. Tapi barisan yang rapih itu serentak bisa menjadi amburadul ketika pemimpin barisan memberikan sebuah aba-aba, “Balik kanaaaan gerak!”. Tiba-tiba, satu buah aba-aba itu seolah  menghasilkan banyak tindakan karena beberapa di antara mereka nyatanya ada yang menghadap ke kiri, berbalik ke kiri, atau menghadap kanan. Ada juga yang akhirnya bisa balik kanan setelah terlebih dahulu melihat kedua tangannya untuk memastikan mana kanan dan mana kiri. Selebihnya, ada yang hanya diam karena tidak berani memutuskan mana arah kanan dan mana arah kiri yang sebenarnya.

Untungnya di pelajaran Bahasa Indonesia ada salah satu materi tentang cara memberikan petunjuk arah berdasarkan info pada peta atau denah dengan bahasa yang tepat. Dari nama materinya, pasti sudah cukup target kompetensi yang harus dicapai siswa. Tapi bagi saya, manfaat tersirat dari pembelajaran ini adalah agar nantinya kalau di jalan siswa-siswa saya tidak tersesat atau membuat orang lain tersesat.

Mengawali materi tersebut, siswa-siswa saya giring ke sebuah ruangan multimedia. Mereka saya perlihatkan sebuah peta yang langsung diakses via Google Map. Seperti dugaan saya, beberapa di antara mereka ternyata lebih familiar melihat peta via Google ketimbang lewat buku Atlas. Kemudian mereka dipersilahkan untuk mencari sebuah lokasi strategis dekat tempat tinggal mereka yang paling mereka ketahui lewat Google Map. Setelah itu, mereka harus menjelaskan secara tertulis petunjuk mengenai cara menuju ke rumahnya dari tempat strategis tersebut berdasarkan peta. Hasil tulisan mereka kemudian saling ditukarkankepada teman sebangku.

Ternyata mereka antuasias. Mungkin karena mereka menganggap kegiatan belajar saat itu lebih mirip permainan teori mencari jejak dengan membaca peta ala petualangan Dora. Dan setelah 15 menit, inilah hasil yang dicapai oleh 12 siswa di kelas itu: 8 siswa yang kemungkinan tidak tersesat dan sampai tujuan dan 4 siswa yang kemungkinan tersesat alias bakalan nyasar dijalan. Dari jumlah siswa yang berhasil sepertinya tujuan pembelajaran ini telah tercapai dengan bagus. Tapi tunggu dulu!

Dari empat siswa yang kemungkinan akan tersesat, kecenderungannya adalah karena mereka salah memahami arah mata angin, arah kanan, dan kiri ketika menerjemahkan peta yang terpampang di layar proyektor. Misalnya, rute dari arah utara menuju timur seharusnya dibahasakan dengan belok kiri, malah ditulis dengan belok kanan, mengikuti posisi tangan kanannya yang berlawanan dengan peta. Ketidaktahuan arah ini yang kemudian berakibat menyesatkan siswa lainnya.

Sementara itu, dari 8 orang yang kemungkinan tidak tersesat, ternyata hanya 4 orang memang benar-benar mampu memahami dan menggunakan bahasa petunjuk dengan baik dan benar. Sisanya, mereka ternyata punya cara sendiri untuk menuliskan atau pun memahaminya. Seperti yang ditulis oleh salah satu siswa berikut ini:

“Untuk menuju ke rumah saya dari Pasar Induk , kamu tinggal naik angkot nomer M35. Lalu bilang aja ke supirnya untuk berhenti di Pos Polisi. Rumah saya ada di seberangnya. 

Ada juga siswa yang sebenarnya nyaris berpotensi nyasar ketika mempraktikkan petunjuk tulisan temannya sambil melihat peta. Ia sangat sulit sekali memahami bahasa petunjuk milik temannya yang sebenarnya sudah tertulis dengan bahasa yang sangat baik. Di sana tertulis barat, ia malah mengarah ke timur. Tertulis belok kanan, ia malah ke kiri. Tapi sebelum dipastikan akan nyasar, siswa tersebut tiba-tiba bilang,

“Ah, saya tahu tempat ini. Pokoknya kalau mau ke rumah kamu patokannya supermarket ini aja. Nanti saya tinggal tanya ke satpam atau tukang ojek. Beres kan?”

 Itu belum seberapa “kretaif”. Ada juga yang sebenarnya tidak menulis karena bingung mau menulis apa. Ketika saya tanya, siswa itu cuma memberi jawaban singkat.

“Biasanya kalau ada teman yang mau ke rumah, saya suruh sopir saya yang jemput Pak. Karena rumah saya itu ribet, banyak belokan,” begitu jawabnya.

“Lho kalau giliran kamu yang tersesat bagaimana?” kata saya menguji argumennya.

Nggak mungkin lha Pak, kan saya diantar sopir juga, lagipula mobil saya ada GPS-nya lho.”

Ya…ya… ya… jadi kesimpulannya, dengan ini sasaran pembelajaran untuk siswa kelas VIII SMP ini belum tercapai. Sepertinya mereka perlu jam terbang yang banyak untuk berlatih membaca peta. Beberapa hari kemudian ketika giliran mengajar di kelas IV SD saya terpikir untuk memberikan mereka permainan mencari harta karun dengan membaca peta berupa denah sekolah yang saya buat dengan beberapa bahasa petunjuk. Mereka senang bukan main.  Alhasil, setiap saya masuk kelas, mereka menagih, “Pak ayo kita main petualangan Dora lagi!”

Baiklah, semoga dengan berlatih membaca peta buta di usia muda, kelak mereka tidak akan mengalami buta arah ketika dewasa. 

1 comment:

  1. makasih pak atas penjelasan materi peta buta, sangat membantu untuk generasi sekarang akan yang serba teknologi. dan lupa akan cara membaca arah angin, baik di peta maupun posisinya sendiri.

    ReplyDelete