Monday, July 30, 2012

Kecil-Kecil Kunyit

Kedewasaan berpikir, berbicara, dan bertindak memang harus dimiliki oleh setiap orang. Tapi apa jadinya kalau ia datang lebih cepat sebelum waktunya. Kadang-kadang saya khawatir jika itu terjadi pada putri kecil saya.

Saya pernah menonton acara kontes menyanyi untuk anak-anak di salah satu TV swasta Indonesia. Kalau melihat bahwa acara itu bisa menumbuhkan rasa percaya diri dan bakat anak sih, oke. Tapi jika melihat mereka dari segi penampilan, baik busana maupun  gaya bicara, saya seperti  sedang melihat jiwa orang dewasa yang terperangkap dalam fisik anak-anak.

Saya sendiri tidak pernah bisa membayangkan kalau anak saya tiba-tiba berpenampilan seperti itu. Saya dan istri sejauh ini masih menikmati keluacuan dan kepolosan Keisha, puteri kecil kami. Bahkan, terkadang kami suka tidak siap kalau membayangkan seperti apa Keisha jika sudah dewasa nanti. Kami belum siap menerima kenyataan kalau-kalau seiring perkembangan usianya, Keisha tidak lagi mau bersama kami dan lebih memilih bersama teman-temannya. Dan bagaimana ya jadinya kalau dia akhirnya sudah mengenal cinta-cintaan? *Bener-bener orang tua yang parno.

Di kelas IV SD, ada salah seorang murid perempuan yang cantik, lucu, dan menggemaskan. Dari gayanya berbicara, ia memang murid yang sangat cerdas dan menyenangkan. Tapi terkadang  cara dan isi bicaranya terlalu dewasa. Kalau dekat dia, hati-hati berbicara soal masalah dewasa karena bisa jadi dia paham. Begitulah penilaian dari beberapa guru lain.

Awalnya saya sih tidak percaya. Karena itu, saya pun sesekali mengamati tingkah dan kelucuannya. Tiba-tiba saja anak itu merespon.

“Kenapa sih Bapak ngeliatin saya terus? Bapak suka ya sama saya?”

“Iya, Bapak suka sama kamu emang kenapa?”

Iiiiihhh amit-amit, nanti kalau kita punya anak, Bapak udah tua keriput, trus saya yang capek ngurusin anak sendirian!”

Awalnya saya sempat speechless dengar jawaban itu. Tapi tentu salah juga kalau membiarkan dialog itu berhenti begitu saja.

“Memang arti suka itu apa sih?” tanya saya sedikit mengetes.

“Suka ya begitu deh, demen, jatuh cinta, trus kawin deh,” jawabnya pede.

“Lho kata siapa arti suka harus seperti itu?”

“Kata saya tadi barusan.”

“Hmmm… sekarang Bapak mau tahu deh, tokoh kartun yang paling kamu suka siapa?”


“Hello Kitty sama Alice in Wonderland, emang kenapa?”

“Kenapa kamu suka dengan mereka?”

“Karena Hello Kitty itu imut, trus kalo Alice in Wonderland punya petualangan yang seru.”

“Berati nanti kamu akan kawin sama Hello Kitty dong, kan kamu suka hayoo?”

Yeeee Si Bapak… ya nggak lah. Masa saya kawin sama Hello Kitty.”

“Nah itu dia, jadi suka itu nggak berati nantinya harus kawin kan? Rasa suka Bapak ke kamu itu ya sama aja dengan rasa suka kamu terhadap Hello Kitty atau Alice in Wonderland.”

“Berarti Bapak menganggap saya imut kaya Hello Kitty gitu?” simpulnya dengan pede sambil dua jari telunjuk menempel di pipi seperti siap mau difoto.

“Ya… boleh lah tapi masih lucuan Hello Kitty.”

“Yeee Si Bapak nih…payah.”


Fiuuuuh… biarlah dibilang payah. Sebenarnya saya juga tidak tahu apakah dia paham sepenuhnya dengan penjelasan saya. Lain kali mau tidak mau, pemahaman anak itu harus sering-sering diarahkan. Minimal sekarang ini perhatian anak itu terhadap arti kata “suka” perlahan teralihkan. Karena kalau tidak, kebayaang dong tiba-tiba aja ada surat datang ke sekolah dari salah satu orang tua siswa kelas IV SD yang isinya komplain terhadap salah seorang guru yang diduga punya gejala phedopilia terhadap anaknya.

No comments:

Post a Comment