Thursday, July 5, 2012

Bagi-Bagi Rapot

Kalau ngomongin soal bagi-bagi rapot, ada banyak cerita di dalamnya.

Buat kebanyakan orang, rapot adalah dokumen paling “sakral” setelah ijazah. Untuk apa sekolah kalau tanpa rapot. Meski hakikat pendidikan intinya merupakan sebuah proses, rapot tetaplah sebagai gambaran bukti ketercapaian proses itu. Isinya memang hanya berupa angka-angka. Namun, angka-angka itu menjadi segala-galanya bagi mereka.

Karena angka yang berbicara atas segala-galanya, maka rapot pun harus dibuat dengan tingkat ketelitian yang tinggi dan penuh dengan pertimbangan ini dan itu. Jadi, kalau ada rutinitas yang paling menyibukkan bagi guru selama satu tahun pelajaran pastinya adalah pada saat jelang bagi-bagi rapot. Pada saat itu mereka harus mengutak-atik angka-angka yang diolah dengan rumus tertentu untuk menghasilkan sebuah nilai akhir yang nantinya akan tertera pada halaman rapot.

Beruntunglah bagi mereka yang mengajar di sekolah yang jumlah siswa per kelasnya sedikit dan sudah menerapkan sistem komputerisasi dalam pengolahan nilainya. Kebayang kan kalau mengajar di sekolah yang jumlah siswa perkelasnya 40 siswa dan pengisian rapotnya masih manual alias tulis tangan. Berhadapan dengan angka-angka pastinya berasa seperti tokoh Simon di film Mercury Rising. Saat itu akan terlihatt betapa sibuknya para wali kelas mempersiapkan rapot layaknya mempersiapkan hajatan anaknya yang mau disunat.

Yang terkadang bikin repot lagi sebenaranya adalah pada saat prapengisian rapot untuk kenaikan kelas. Biasanya pada saat itu ada rapat penentuan kenaikan kelas oleh kepala sekolah dan seluruh guru. Dalam rapat tersebut setiap walikelas melaporkan hasil olahan nilai untuk rapot siswa-siswinya. Kalau laporannya menunjukkan bahwa nilai semua siswa di kelasnya memenuhi syarat untuk naik kelas, maka rapat pun akan berjalan lancar. Tapi lain soal kalau dalam laporan itu ada salah satu saja siswa yang nilainya tidak memenuhi syarat naik kelas. Di sinilah biasanya rapat bisa berlangsung alot.

Perdebatan biasanya terjadi antarsesama guru dan juga dengan kepala sekolah. beberapa guru yang idealis biasnya keukeuh memberikan nilai rapot apa adanya. Kalau toh konsekuensinya si siswa tidak naik kelas itu bukanlah aib bagi sekolah atau pun siswa, melainkan sebuah pembelajaran. Memaksa menaikkan siswa tersebut justru akan mempersulit siswa yang bersangkutan dan juga sekolah di saat Ujian Nasioanl nanti. Namun bisanya tidak demikian pendapat guru yang lain atau bahkan kepala sekolah. Bagi sekolah-sekolah unggulan, bisanya menjadi aib apabila ada siswanya yang tidak naik kelas. Reputasi sebagai sekolah unggulan akan turun. Logika yang diterima masyarakat adalah kalau sekolah unggulan pasti siswa-siswinya juga “unggul”.

Teman saya yang mengajar di sekolah unggulan lain pernah bercerita. Ketika tidak ada titik temu dari perdebatan semacam itu, jalan tengah yang diambil adalah tetap memberikan kenaikan kelas, namun siswa tersebut dipaksa pindah ke sekolah lain.

Pernah juga ada siswa yang terpaksa harus dinaikan dengan alasan-alasan tertentu. Di sekolah unggulan ada kalanya terdapat beberapa siswa “titipan” entah itu anak pejabat, atau anak pemilik yayasan sekolah yang terkadang otaknya pun pas-pasan. Sekeras apapun upaya guru, sulit membuat anak tersebut memiliki kualifikasi rata-rata siswa di sekolah itu. Men-tidak naik-kan anak tersebut pun jelas tidak mungkin. Maka konsekuensinya nilai anak itu pun didogkrak hingga bisa naik kelas.

Lain lagi dengan cerita yang terjadi di sebuah sekolah yang bukan unggulan. Seorang siswa pernah dinaikkan dua tahun berturut-turut atas dasar belas kasihan. Siswa itu adalah anak semata wayang yang menjadi harapan satu-satunya bagi orang tuanya. Hidup mereka pas-pasan. Dan parahnya tidak ada satu pun sekolah lain yang mau menerima.

Beruntung ketika diberi kesempatan menjadi wali kelas, saya hanya mengalami satu kali untuk tidak menaikkan kelas. Siswa yang jadi korban sebenarnya adalah anak yang baik. Tapi 5 bidang studi nilainya jatuh. Masalahnya ternyata ada pada orang tuanya yang selalu mengekang waktu anaknya mulai dari pulang sekolah sampai waktu tidur malam. Tidak ada waktu bermain, bersosialisasi, termasuk belajar. Yang ada hanya membantu orang tua dan menjaga adik-adiknya. Alhasil, siswa itu benar-benar terpukul menerima kenyataan tinggal kelas. Beruntung akhirnya orang tua siswa itu sadar dan menyemangati anaknya yang terduduk lemas menangis sesegukan. Terlambat memang. Tapi barangkali memang harus ada yang dikorbankan untuk membuat seseorang tersadar akan kekeliruannya.

Cerita soal bagaimana respon para siswa dan orang tua mereka pascavonis tidak naik kelas memang unik. Kebanyakan tentu mereka sangat sedih dan kecewa. Sebijaksana apapun guru memberikan penguatan kepada siswa bahwa tidak naik kelas bukanlah sebuah akhir; dan sebanyak apapun guru memberikan contoh kisah tentang orang-orang sukses setelah bangkit dari kegagalan, tetap saja mereka menganggap tidak naik kelas = aib.

Yang parah kalau orang tuanya ikutan naik darah. Sasaran tembaknya antara dua: marah-marah ke anaknya sendiri atau kalau tidak memaki-maki guru dan kepala sekolah. Rekan saya yang sudah jadi kepala sekolah pernah bercerita, salah satu orang tua yang anaknya tidak naik kelas datang menghadap. Dia tidak memaki-maki memang, tapi secara “halus” meminta kepala sekolah menaikkan anaknya sambil meletakkan pistol di atas meja kepala sekolah. Gimana nggak horror tuh.

Walau begitu, banyak juga orang tua yang dengan bijak menerima dan bahkan ikut menguatkan semangat anaknya. Orang tua model begini nih pasti paham soal pendidikan. Setidaknya, mereka cukup meringankan tugas guru untuk memberikan penguatan kepada anak.

Di sekolah unggulan, kasus tidak naik kelas jarang atau bahkan tidak penah saya jumpai. Tapi bukan berarti protes dan caci maki orang tua kepada guru ataupun kepala sekolah juga tidak ada. Bahkan kadang lebih konyol. Pernah ada pasangan orang tua siswa yang kebetulan berprofesi sebagai seniman, tidak terima jika nilai pelajaran kesenian anaknya mendapat nilai 78. Menurut mereka anaknya pantas mendapat nilai 90. Si orang tua tidak mau tahu walaupun guru keseniannya sudah menjelaskan bahwa ketika praktik menyanyi solo, suara si anak luar biasa fales. Nilai rapot memang tidak bisa diganggu gugat, namun nama dan reputasi guru kesenian itu dicoreng-moreng abis di depan orang tua murid lain dan bahkan para calon orang tua murid yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah itu.

“Hati-hati sama guru kesenian itu, ngajarnya nggak bener. Baca partitur aja nggak bisa!” begitu kasak-kusuk bernada nyinyir yang sering terdengar. Benar-benar pembunuhan karakter ya.

Tapi di balik duka, pasti ada suka. Tapi cerita ini umumnya terjadi di sekolah-sekolah unggulan yang notabene siswanya dari kalangan ortu yang tajir. Urusan siswa bermasalah nilai, paling kasusnya hanya 1 persen. Selebihnya, tidak ada masalah. Jadi jangan heran betapa berlebihannya wujud rasa terima kasih para orang tua siswa kepada wali kelasnya saat datang untuk mengambil rapot. Berdasarkan pengamatan saya, setiap wali kelas yang selesai membagikan rapot di kelasnya, akan kembali ke ruang guru dengan tangan yang penuh dengan jinjingan berisi beragam bingkisan. Bahkan mereka tak segan-segan membuka bingkisan itu di depan para guru yang lain. Ada yang isinnya jam tangan, handphone terbaru, baju, tas bermerek, bahkan segepok uang tunai.

“Berangkat kerja naik ojek, pulang kayaknya harus sewa dua bajaj nih”, celetuk salah seorang guru menyindir. Saya dan beberapa guru debutan yang tidak jadi wali kelas cuma bisa nyengir kuda.

Jadi, ya begitulah nasib menjadi wali kelas jelang dan saat bagi rapot. Sudah lelah fisik, batin pun kadang ikutan dibikin letoi. Tapi begitu tahu bahwa sesudahnya happy ending, posisi wali kelas bagi guru-guru ibarat jabatan “basah” di kantor PNS, semua pasti mau.

Tapi ada salah seorang teman saya yang ngebet banget jadi wali kelas bukan karena soal dapat bingkisan-bingkisan itu, melainkan karena satu alasan:
“Saya pengen banget bisa tanda tangan di rapot supaya nanti tanda tangan saya bisa dikenang siswa ketika mereka udah jadi pejabat,” katanya dengan penuh harap.

Belakangan setelah saya pindah dari sekolah unggulan itu, harapan teman saya terwujud. Ia akhirnya jadi wali kelas. Semoga saja siswanya ketika kelak jadi pejabat benar-benar nggak lupa sama wali kelasnya itu.

No comments:

Post a Comment