Friday, July 27, 2012

Ketika Anak Bertanya

Tiba-tiba saya teringat dengan perkataan dosen Dasar Filsafat sewaktu kuliah. Menurut beliau kebiasaan bertanya yang dilakukan oleh anak di usia dini adalah cikal-bakal yang bagus untuk menumbuhkan jiwa kritis pada dirinya saat dewasa. Sekali-kali Anda coba menghentikan bahkan melarang kebiasaan tersebut, maka saat remaja dan dewasa ia berpotensi menjadi anak yang takut untuk bertanya atau bahkan mengemukakan pendapat.

Selama saya mengajar, bisa dihitung dengan jari sebelah tangan, jumlah siswa di kelas yang doyan atau bahkan berani untuk bertanya. Bahkan ketika diadakan talk show di sekolah pun hanya sedikit yang mau bertanya. Itu pun kadang karena mereka diiming-imingi dengan bingkisan dari sponsor yang khusus menyediakan bingkisan itu bagi siswa yang bertanya. Bahkan ketika saya memancing dengan penjelasan yang bikin penasaran pun, mereka tidak bertanya. Setidaknya harapan saya, minimal mereka  bilang “Kenapa?” atau “Kok gitu?” lah. Tapi ini diam sama sekali. Lalu saya jadi penasaran, apakah jangan-jangan waktu kecil orang tua atau keluarga disekelilingnya pernah melarang, membentak, atau memarahi mereka ya waktu lagi bertanya.

Saya sih belum pernah membaca langsung penelitian yang membuktikan hal itu. Tetapi kalau dipikir-pikir rasanya masuk akal juga sih. Makanya ketika anak saya yang sekarang berusia 3 tahun sudah mulai cerewet nanya ini itu, mau nggak mau ya harus  saya tanggapi. Apapun isi pertanyaannya biarpun itu aneh, absurd, retoris, pertanyaan nggak jelas, bahkan konyol  pun ya tetap harus diladeni.

Pernah waktu jalan bareng di pelataran mall, anak saya melihat anak yang memiliki kelainan fisik di bagian matanya (juling). Tiba-tiba aja dong  dengan suara keras dia nanya, “Pa, kenapa dia ngeliatinnya begitu sih?”

Waduh, untungnya itu anak, emak, dan orang-orang di sekelilingnya pada nggak ngerti bahasa Indonesia. Tapi masalahnya ini anak nggak cuma nanya, tapi pake nunjuk ke mata itu orang segala. Dalam situasi itu saya tidak mungkin memberi penjelasan lengkap dan tepat saat itu juga.

“Sssstttt… Kei lihat di sana ada apa tuh!” kata saya refleks berusaha mengalihkan pertanyaan si bocah. Berhasil teralihkan sih, tapi semenit kemudian pikirannya kembali ke pertanyaan awal.

“Pa… Papa tadi belum jawab, kenapa olang itu ngeliatinnya begitu banget?”

Yo wiss.. akhirnya tetep juga deh harus ada waktu khusus untuk menjawab karena Keisha pasti tidak pernah puas dengan satu jawaban. Sementara untuk memberikan satu jawaban yang tepat, sederhana, dan mudah dia mengerti saja harus mikir-mikir. Jadilah kami seperti sedang wawancara. Keisha sebagai wartawan dan papanya sebagai narasumber.

Papa   : Anak itu matanya sakit.     
Kei     : Sakit kenapa?
Papa   : Dia nggak bisa liat kayak Keisha dan kayak orang-orang yang normal.          
Kei     : nolmal itu apa Pa? *nah lho kan malah nanya definisi, masa kudu jawab 
  berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Papa   : Normal itu seperti Keisha, Mama, Papa, dan orang-orang lain yang bisa
  melihat dengan sempurna.
Kei     : Iya tapi kenapa dia nggak bisa liat kayak Keisha? *jiaah balik ke
  pertanyaan pertama.
Papa   : Karena Allah menciptakan setiap orang tidak sama.
Kei     : Kenapa nggak sama?
Papa   : Supaya kita harus bersyukur, terima kasih sama Allah karena dikasih  
  sehat
Kei     : Supaya mata Keisha ngeliatnya nggak kayak begitu?
Papa   : Iya. Tapi kita juga tetap harus mau berteman dan main sama mereka.
  Kita nggak boleh sombong dan nggak boleh mengejek mereka.
Kei     : Nggak kok, tadi kan aku cuma nanya gitu doang kok. *mulai ngeyel nurun
  dari papanya.
Papa   : Iya tapi nggak boleh nanya keras-keras sambil nunjuk di depan orangnya
Kei     : Kenapa nggak boleh?
Papa   : Nanti orang itu nggak seneng, bisa marah, dan nggak mau bereteman
  sama Keisha.
Kei     : Oh gitu ya Pa. Okey *berpikir kalau dia sudah paham penjelasan papanya, 
   tapi …
Kei     : Kalo dia malah nanti aku main sama Hana aja kalo gitu.
Papa   : %$^#*^%!@@%(+_(&&%%#@$$^???... *kok jadi begitu  konklusinya ya?

Dilematis? Ya nggak juga sih. Lebih baik capek meladeni pertanyaan, daripada nantinya Keisha menjadi anak yang pendiam, malu bertanya dan sesat di jalan. Masalahnya tinggal kembali ke saya yang harus harus ekstra sabar menanggapi dan yang terpenting bisa memberikan jawaban yang tepat dengan bahasa yang sederhana. Tapi untuk hal yang terakhir ini sepertinya saya dan istri memang harus buka-buka buku dan belajar lagi. Karena baru-baru ini Keisha punya pertanyaan baru ke mamanya:

“Islam itu apa sih?"
“Allah itu kayak apa?”
“Muhammad itu siapa sih?"
"Sulga itu apa?"
"Nelaka itu apa?"
"Kenapa olang harus baik?"

No comments:

Post a Comment