Sunday, July 22, 2012

Pakai Bahasa Indonesia, Plis!**

Sebagai orang yang paling tidak suka pelajaran sejarah selama di bangku sekolah dulu, saya tentu tidak begitu banyak mengingat-ingat peristiwa sejarah bangsa ini. Kalau ada, salah satunya itu adalah sejarah Sumpah Pemuda. Itupun karena dua sebab. Pertama adalah ketika saya harus membuat naskah untuk lomba pidato siswa yang bertema “Persatuan dan Kesatuan”, sedangkan sebab kedua adalah karena ada sebuah kondisi yang membuat saya miris.

Coba bayangkan Saudara-Saudara, lebih dari ¾ abad yang lalu pemuda-pemudi bangsa kita bersusah-payah berjuang mempersatukan seluruh rakyat Indonesia yang waktu itu masih terpecah bersuku-suku supaya bisa ngelawan wong londo. Nah sekarang, ketika negeri ini udah setengah abad lebih merdeka, malah hobi bikin, kelompok, perkumpulan, ormas, atau paguyuban, atas nama kesukuan. Ampun deh!

Sebenarnya sah-sah saja sih. Toh itu adalah hak mereka yang dilindungi oleh UUD ’45 pasal 28E yang isinya : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. *Ciiiyeeeh hapal kan gue.., padahal mah googling*. Tapi masalahnya adalah, mereka sering kali menempatkan kepentingan kelompoknya itu sebagai prioritas utama di atas kepentingan bangsanya sendiri. Efeknya adalah…*pelototin sendiri deh tuh berita di TV, Koran, atau internet. Saya aja bosen ngeliat isinya berita tawuran melulu. Itulah yang akhirnya bikin saya ilfil dengan segala macam ormas, paguyuban atau entah apapun jenisnya yang mengatasnamakan suku.

Ketika saya pindah domisili ke negara tetangga, betapa kagetnya ketika di sana begitu menjamur paguyuban-paguyuban yang mengatasnamakan suku. Beberapa kali dalam setahun setidaknya mereka punya acara kumpul-kumpul bareng. Sesekali saya iseng mengintip isi agendanya. Ternyata di salah satu butir misi mereka adalah memberikan pengayoman kepada masyarakat sesukunya dalam segala hal selama tinggal di negara itu. Terus… berarti kalau bukan sesuku nggak bakalan dilindungin kalau kenapa-napa di negeri orang gitu? Cape deh, hari gini tinggal di negeri orang bukannya menonjolkan keindonesiaan malah masih nonjolin suku-sukuan.

Dilalahnya, entah ini merupakan tulah dari ke-ilfil-an saya, beberapa siswa-siswa saya punya kecenderungan seperti itu. Saya tidak tahu apakah mereka adalah anak dari anggota paguyuban-paguyuban itu. Intinya, bagaimanapun juga mereka bagian dari siswa-siswi yang harus selalu saya cintai.

Di kelas V SD misalanya, ada 3 siswa saya yang sehari-hari berbicara dengan bahasa Jawa. Mereka adalah Bima, Arul, dan Daif. Kebetulan mereka bertiga memang siswa pindahan dari Jawa Timur. Awalnya sih bagi saya oke-oke saja selagi untuk bahasa sehari-hari mereka di luar kelas. Tapi, saya akhirnya terpaksa menegur mereka saat presentasi antarkelompok di kelas.

Begini kejadiannya: Waktu itu setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan sebuah tips dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saat itu ketiganya tidak tergabung dalam satu kelompok. Ketika  kebetulan Si Arul melakukan presentasi (tentunya dengan bahasa Indonesia), Bima yang tergabung dalam kelompok lain bertanya. Awalnya dijawab dengan baik pakai bahasa Indonesia oleh Arul. Tapi seketika Si Bima bingung, ia spontan langsung nyerocos pakai bahasa Jawa. Seperti nggak mau kalah Arul pun meladeninya dengan bahasa yang sama. Jadilah keduanya bablas ngomong Jawa. Alhasil teman-teman dari kelompok lain lain bingung planga-plongo, kecuali satu yang paham sambil manggut-manggut : Si Daif tentunya.

Pernah juga ketika kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa alias LDKS untuk siswa SMP,  saya kebetulan kebagian jadi pembina di pos 4 yang khusus untuk menggembleng mereka dengan materi kreativitas seni. Saat dua orang siswa dari salah satu kelompok saya minta menampilkan adegan drama komedi dalam bahasa Indonesia. Karena nggak boleh menolak, mereka cuma bisa diam. Saya tunggu sampai 5 menit, mereka pun tetap bengong. Saya pancing dengan skenario dan beberapa anekdot, mereka garuk-garuk kepala.  

“Ya sudah, kalau begitu coba kalian ceritakan anekdot yang pernah kalian dengar,” kata saya memberikan tawaran yang lain. Berharap siapa tahu aja ternyata ada di antara mereka yang punya bakat jadi stand up comedian, kali aja bisa saya poles dan kalau ngetop gw saya yang jadi manajernya. *ngimpi.

Tapi apa coba yang akhirnya mereka tampilkan? Ngebodor ala Kang Ibing vs Abah Us Us dengan full sundanese. Tiba-tiba berasa seperti nonton lawakan kabayan tanpa subtitles bahasa Indonesia. Umumnya beberapa siswa anggota kelompok lain dan juga saya memang sukses dibuat ketawa. Tapi ketika saya tanya, siapa yang mengerti isinya, hanya dua anak yang ngacung. Yang satu anak pindahan dari Subang, dan satunya lagi Bandung. Klop nih ye..!

Kejadian paling gres adalah ketika tahun ajaran baru. Bagas adalah salah satu siswa SMP pindahan dari Bandung. Anaknya sangat pendiam. Setiap kali saya tanya, jawabannya hanya manggut atau geleng kepala. Ketika saya suruh bikin karangan, akhirnya dia bersuara,

Pak ulah make basa Indonesa nyak? Abdi teh teu terang.”

“Masa kamu tidak bisa pakai bahasa Indonesia?”

Abdi geus biasa nulis sunda.”

“Tapi sekarang kamu harus biasakan juga menulis dengan bahasa Indonesia.”

Anak itu balik lagi jadi pendiam. Saya prihatin. Terus terang saya memang baru sekali menemukan situasi seperti ini. Tapi saya yakin di pelosok negeri kita ada banyak anak seperti Bagas yang belum tersentuh dengan bahasa resmi bangsanya. Lantas apa ada yang salah dengan ikrar ketiga Sumpah Pemuda?

Hingga saat ini bagi Bagas, tugas bahasa Indonesia barangkali menjadi PR besar baginya. Dan kasus seperti Bagas juga merupakan PR bagi besar bagi guru Bahasa Indonesia seperti saya.

Catatan: *)kata “plis” belum dan mungkin sama sekali tidak akan pernah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Gunakan kata “mohon”!

1 comment:

  1. makasih ya pak, sudah mampir ke blog saya *bow down*.

    Alhamdulillah jika buku2nya bermanfaat

    ReplyDelete