Sunday, July 22, 2012

Pakai Bahasa Indonesia, Plis!**

Sebagai orang yang paling tidak suka pelajaran sejarah selama di bangku sekolah dulu, saya tentu tidak begitu banyak mengingat-ingat peristiwa sejarah bangsa ini. Kalau ada, salah satunya itu adalah sejarah Sumpah Pemuda. Itupun karena dua sebab. Pertama adalah ketika saya harus membuat naskah untuk lomba pidato siswa yang bertema “Persatuan dan Kesatuan”, sedangkan sebab kedua adalah karena ada sebuah kondisi yang membuat saya miris.

Coba bayangkan Saudara-Saudara, lebih dari ¾ abad yang lalu pemuda-pemudi bangsa kita bersusah-payah berjuang mempersatukan seluruh rakyat Indonesia yang waktu itu masih terpecah bersuku-suku supaya bisa ngelawan wong londo. Nah sekarang, ketika negeri ini udah setengah abad lebih merdeka, malah hobi bikin, kelompok, perkumpulan, ormas, atau paguyuban, atas nama kesukuan. Ampun deh!

Sebenarnya sah-sah saja sih. Toh itu adalah hak mereka yang dilindungi oleh UUD ’45 pasal 28E yang isinya : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. *Ciiiyeeeh hapal kan gue.., padahal mah googling*. Tapi masalahnya adalah, mereka sering kali menempatkan kepentingan kelompoknya itu sebagai prioritas utama di atas kepentingan bangsanya sendiri. Efeknya adalah…*pelototin sendiri deh tuh berita di TV, Koran, atau internet. Saya aja bosen ngeliat isinya berita tawuran melulu. Itulah yang akhirnya bikin saya ilfil dengan segala macam ormas, paguyuban atau entah apapun jenisnya yang mengatasnamakan suku.

Ketika saya pindah domisili ke negara tetangga, betapa kagetnya ketika di sana begitu menjamur paguyuban-paguyuban yang mengatasnamakan suku. Beberapa kali dalam setahun setidaknya mereka punya acara kumpul-kumpul bareng. Sesekali saya iseng mengintip isi agendanya. Ternyata di salah satu butir misi mereka adalah memberikan pengayoman kepada masyarakat sesukunya dalam segala hal selama tinggal di negara itu. Terus… berarti kalau bukan sesuku nggak bakalan dilindungin kalau kenapa-napa di negeri orang gitu? Cape deh, hari gini tinggal di negeri orang bukannya menonjolkan keindonesiaan malah masih nonjolin suku-sukuan.

Dilalahnya, entah ini merupakan tulah dari ke-ilfil-an saya, beberapa siswa-siswa saya punya kecenderungan seperti itu. Saya tidak tahu apakah mereka adalah anak dari anggota paguyuban-paguyuban itu. Intinya, bagaimanapun juga mereka bagian dari siswa-siswi yang harus selalu saya cintai.

Di kelas V SD misalanya, ada 3 siswa saya yang sehari-hari berbicara dengan bahasa Jawa. Mereka adalah Bima, Arul, dan Daif. Kebetulan mereka bertiga memang siswa pindahan dari Jawa Timur. Awalnya sih bagi saya oke-oke saja selagi untuk bahasa sehari-hari mereka di luar kelas. Tapi, saya akhirnya terpaksa menegur mereka saat presentasi antarkelompok di kelas.

Begini kejadiannya: Waktu itu setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan sebuah tips dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saat itu ketiganya tidak tergabung dalam satu kelompok. Ketika  kebetulan Si Arul melakukan presentasi (tentunya dengan bahasa Indonesia), Bima yang tergabung dalam kelompok lain bertanya. Awalnya dijawab dengan baik pakai bahasa Indonesia oleh Arul. Tapi seketika Si Bima bingung, ia spontan langsung nyerocos pakai bahasa Jawa. Seperti nggak mau kalah Arul pun meladeninya dengan bahasa yang sama. Jadilah keduanya bablas ngomong Jawa. Alhasil teman-teman dari kelompok lain lain bingung planga-plongo, kecuali satu yang paham sambil manggut-manggut : Si Daif tentunya.

Pernah juga ketika kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa alias LDKS untuk siswa SMP,  saya kebetulan kebagian jadi pembina di pos 4 yang khusus untuk menggembleng mereka dengan materi kreativitas seni. Saat dua orang siswa dari salah satu kelompok saya minta menampilkan adegan drama komedi dalam bahasa Indonesia. Karena nggak boleh menolak, mereka cuma bisa diam. Saya tunggu sampai 5 menit, mereka pun tetap bengong. Saya pancing dengan skenario dan beberapa anekdot, mereka garuk-garuk kepala.  

“Ya sudah, kalau begitu coba kalian ceritakan anekdot yang pernah kalian dengar,” kata saya memberikan tawaran yang lain. Berharap siapa tahu aja ternyata ada di antara mereka yang punya bakat jadi stand up comedian, kali aja bisa saya poles dan kalau ngetop gw saya yang jadi manajernya. *ngimpi.

Tapi apa coba yang akhirnya mereka tampilkan? Ngebodor ala Kang Ibing vs Abah Us Us dengan full sundanese. Tiba-tiba berasa seperti nonton lawakan kabayan tanpa subtitles bahasa Indonesia. Umumnya beberapa siswa anggota kelompok lain dan juga saya memang sukses dibuat ketawa. Tapi ketika saya tanya, siapa yang mengerti isinya, hanya dua anak yang ngacung. Yang satu anak pindahan dari Subang, dan satunya lagi Bandung. Klop nih ye..!

Kejadian paling gres adalah ketika tahun ajaran baru. Bagas adalah salah satu siswa SMP pindahan dari Bandung. Anaknya sangat pendiam. Setiap kali saya tanya, jawabannya hanya manggut atau geleng kepala. Ketika saya suruh bikin karangan, akhirnya dia bersuara,

Pak ulah make basa Indonesa nyak? Abdi teh teu terang.”

“Masa kamu tidak bisa pakai bahasa Indonesia?”

Abdi geus biasa nulis sunda.”

“Tapi sekarang kamu harus biasakan juga menulis dengan bahasa Indonesia.”

Anak itu balik lagi jadi pendiam. Saya prihatin. Terus terang saya memang baru sekali menemukan situasi seperti ini. Tapi saya yakin di pelosok negeri kita ada banyak anak seperti Bagas yang belum tersentuh dengan bahasa resmi bangsanya. Lantas apa ada yang salah dengan ikrar ketiga Sumpah Pemuda?

Hingga saat ini bagi Bagas, tugas bahasa Indonesia barangkali menjadi PR besar baginya. Dan kasus seperti Bagas juga merupakan PR bagi besar bagi guru Bahasa Indonesia seperti saya.

Catatan: *)kata “plis” belum dan mungkin sama sekali tidak akan pernah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Gunakan kata “mohon”!

Thursday, July 19, 2012

Sehari jadi Konselor

Ketika hari pertama masuk ke kelas di tahun ajaran baru dengan mengajar siswa-siswi yang juga sebagian besar baru, pasti selalu disertai semangat yang baru. Betul tidak? Saya yakin setiap guru akan mengalami hal yang sama. Kalau toh ada yang beda saya pikir itu terkait soal berapa lama semangat itu akan bertahan hehehehe.

Biasanya pantang jika di awal pertemuan sudah langsung masuk ke materi pelajaran. Efeknya bisa macam-macam. Ada yang sudah pasang muka bĂȘte. Paling banyak mereka pasti berkomentar,

“Ya... baru juga masuk Pak, masa udah belajar aja!” atau
“Pak, kita sekarang nggak belajar dulu kan ya, masih kenalan dan ngobrol-ngobrol aja kan?”

Beruntungnya saya yang mengajar Bahasa Indonesia. Waktu itu kebetulan masuk ke kelas V SD. Andalan saya di hari pertama mengajar pastilah mereka saya ajak ngobrol-ngobrol. Mereka pun senang bukan kepalang. Ternyata mereka khawatir kalau pertemuan pertama pelajaran Bahasa Indonesia pastilah mereka akan disuruh menulis karangan tentang pengalaman liburan seperti yang kebanyakan mereka alami. Padahal mereka tidak sadar, bahwa di pelajaran Bahasa Indonesia, ngobrol-ngobrol itu adalah salah satu dari 4 keterampilan dasar berbahasa yang diajarkan. Secara tidak sadar juga artinya mereka sudah masuk ke materi pelajaran di hari pertama. Hihihihi.

Untuk sisi keterampilan menulis, mereka saya suruh menulis minimal 5 kalimat tentang penilaian mereka terhadap diri mereka sendiri dan penilaian mereka terhadap pelajaran bahasa Indonesia. Biasanya tulisan ini bisa saya manfaatkan untuk mengenal karakter mereka dan memberikan perlakuan yang tepat bagi mereka selama proses belajar. Ada sih satu atau dua anak yang curiga ini bagian dari materi pelajaran di hari pertama.

“Jangan khawatir, hari ini kita belum masuk ke materi kok. Karena Bapak belum pernah mengajar kalian, jadi Bapak harus mengenal kalian dulu. Dan karena kalian juga belum saling kenal dengan teman kalian yang baru, maka sebelumnya kalian harus mengenal diri kalian sendiri dulu kan?” kata saya ngeles

Dan inilah hasil tulisan mereka disertai catatan gurunya yang sok beranalisis ala konselor:

Nama: Rara
Saya orangnya tegas… tapi nggak tegas-tegas banget. Saya suka membaca buku dan mengarang. Saya suka dengan drama. Saya juga suka pelajaran IPA. Saya suka mendengar musik klasik.
CATATAN: Hmmmm. Cukup oke nih buat jadi murid yang nantinya bisa saya andalkan untuk menjadi pemimpin kelas atau kelompok di saat pelajaran saya. Nggak sabar membaca seperti apa tulisan hasil karangannya. Pasti isinya blak-blakan namun penuh dengan harmonisasi dan “cita rasa” tulisan yang berkelas layaknya konser musik klasik. Hehehehe.

Nama: Shaq
Saya orangnya nggak suka kepanasan. Saya sangat suka main bola. Saya suka nonton acara pertandingan sepak bola. Saya suka matematika. Suka juga pelajaran b.indonesia tapi sedikit. Paling bingung kalo disuruh nulis yang panjang-panjang soalnya capek.
CATATAN: Sepertinya cocok kalau anak ini saya ajak belajar di ruangan ber-AC atau di bawah pohon beringin depan sekolah. Perlu sering-sering diajak komentar sepak bola kali ya? Kali aja bisa jadi analis atau komentator bola di Goal.com

Nama : Hesky
Saya orang yang sederhana. Saya juga kadang-kadang jahil.Saya suka bahasa Indonesia tapi kadang-kadang tergantung gurunya. Saya suka ngelawak. Kadang-kadang saya cerewet. Saya paling takut sama kecoa.
CATATAN: Saya pernah pakai metode Stand Up Comedy untuk melatih siswa SMA agar pede ngomong di depan umum. Tapi untuk anak ini, walau masih kelas V sepertinya sudah bisa saya arahkan ke sana. Oh iya. Kalau anak ini jahil tinggal saya kasih kecoa. Gampang kan?

Nama: Hafiz
Saya orangnya asyik. Saya suka mengekpresikan diri. Saya paling suka bahasa Indonesia yang ada pelajaran dramanya. Saya hobi berolahraga. Saya suka membatu ibu saya.
CATATAN: Cocok untuk berpatner dengan Rara. Bisa jadi andalan sebagai siswa yang selalu mau disuruh tampil duluan ke atas panggung karena pastinya paling pede. Benar-benar anak yang berbakti kepada orang tua. Saya doakan ilmu kamu akan bertambah banyak. Banyak teman, banyak rezeki, enteng jodoh, dan menjadi ahli surga karena kamu suka membantu orang tua. Hehehe.

Nama: Biem
Saya orangnya suka mengganggu teman. Saya sangat jahil. Saya suka pelajaran bahasa Indonesia tapi cuma yang puisi dan pantun doang. Saya tidak suka pelajaran bahasa Indonesia kalo bagian nulis dan baca karena capek. Saya tidak suka baca buku.
CATATAN: Sebenernya sih udah pernah tahu track record anak ini tahun sebelumnya yang pada akhirnya bikin dia tinggal kelas. Next time saya mungkin akan tulis cerita tentang ulah anak "istimewa" ini. Intinya, hanya hidayah tuhan lah saya rasa yang bisa menggiringnya ke perubahan sikap yang lebih baik. Tapi sementara menunggu hidayah itu datang, saya harus lebih banyak memberikannya tugas membuat puisi dan pantun untuk mengalihkan sifat jeleknya itu. Semoga!

Nama: Hana
Saya orangnya plin-plan. Pelajaran bahasa Indonesia itu paling saya suka. Saya suka membaca buku. Saya juga suka menulis, kecuali kalau disuruh menulis pengumuman. Saya suka melihat pemandangan yang indah.
CATATAN: Sesuai dengan namanya, Hana = Bunga pantas lah dia suka dengan yang indah-indah. Tapi, anak ini sepertinya mudah terpengaruh pembentukan opinynya harus diarahkan ke hal yang baik. Saya menduga kenapa dia nggak suka menulis pengumuman ya karena plin-plan menentukan tanggalnya hehehe. *analisisnya udah mulai ngaco ya

Nama: Avi
Saya itu orangnya pemarah. Tapi saya nggak suka berantem. Pelajaran yang saya suka adalah IPA, Bahasa Indonesia, Matematika sama Olahraga. Saya suka main bola. Saya tidak suka pelajaran bahasa Indonesia.
CATATAN: Dari tulisannya saja nggak konsisten. Jadi sebenarnya kamu itu suka apa benci dengan pelajaran Bahasa Indonesia sih? sepertinya di lain waktu isi perkataan anak ini tidak boleh ditelan mentah-mentah, dan jangan langsung dipercaya begitu saja. Jadi penasaran, kira-kira ini anak sebenarnya suka berantem nggak ya… *analisis yang nggak jelas

Nama Umam:
Saya nggak begitu suka bahasa Indonesia karena banyak nulisnya. Saya sukanya makan dan ngadem. Saya suka isengin temen. Saya suka main game. Saya bingung mau nulis apa lagi.
CATATAN: Kelebihan anak ini sepertinya adalah JUJUR. Sabarlah Umam, sampai sekarang saya masih bermimpi mengembangkan materi Bahasa Indonesia yang terintegrasi dengan video game untuk anak-anak seperti kamu. Tunggu saja *benar-benar catatan yang nggak mengandung solusi.

Untungnya punya murid yang jumlah sekelasnya cuma seiprit. Jadi punya banyak pilihan metode yang bisa diterapkan orang per orang hihihihi. Kebayang kan kalau jumlah siswa sekelasnya bejibun

Sunday, July 8, 2012

Menit Keenam

Di sekolah manapun, keterlambatan datang ke sekolah merupakan pelanggaran tata tertib. Yang membedakan, tiap sekolah punya sanksi atau pun toleransi tertentu terhadap siswa yang melakukannya. Demikian halnya yang berlaku di sekolah tempat saya pernah mengajar.

Biasanya sekolah hanya memberi toleransi 5 menit keterlambatan untuk dapat masuk kelas tanpa sanksi. Kalau ada konsekuensi yang diterima paling-paling hanya beberapa menit ketinggalan pelajaran. Tetapi, bagi beberapa siswa tampaknya konsekuensi itu tidak seberapa merugikan. Kalau toh ada yang lebih merugikan paling-paling perihal berkurangnya air di botol minum yang habis sebagian ditenggak setelah harus lari kencang dari halte bus depan sekolah. Tetapi lain soal bagi mereka yang finis di menit keenam. Guru piket pasti akan menanti di depan ruangan kecil di pojok dekat tangga sebelah timur.

Secara administratif, ada tiga tahap yang harus dilakukan guru piket pada saat itu. Yang pertama adalah mendata nama-nama siswa beserta asal kelas mereka. Pada tahap ini proses pedataan akan sangat merepotkan karena pendataan dilakukan orang per orang secara manual, tidak secara kolektif. Penyebabnya karena setiap anak memiliki akumulasi keterlambatan yang berbeda-beda. Akumulasi itulah yang dijadikan pedoman dalam pemberian sanksi. Akumulasi keterlambatan sebanyak 5 kali akan mendapat surat peringatan pertama atau SP I yang akan dikirimkan langsung kepada orang tua dari siswa yang bersangkutan. Bagi siswa yang berlatar keluarga disiplin tinggi dan menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban moral yang baik, SP I adalah sebuah aib bagi orang tuanya. SP I bisa menjadi bencana sesaat bagi siswa karena dengan sepucuk surat itulah lazimnya ia akan melewati masa-masa tidak mengenakan seperti aneka teguran, omelan, atau sanksi-sanksi lain seperti larangan tidur malam atau larangan bermain video game yang diberlakukan leh orang tua mereka. Hal itu biasanya cukup baik memberikan efek jera bagi siswa. Namun, efek jera itu tidak selalu muncul pasca SP I. Rama contohnya. Siswa kelas IX tersebut pada hari itu baru saja menggenapi akumulasi keterlambatannya menjadi 6 kali, yang artinya menurut aturan yang berlaku, ia harus dipulangkan. Dan inilah reaksi Rama kepada saya ketika vonis pulang itu dijatuhkan kepadanya:

“Ya sudah deh Pak, saya nelepon supir saya dulu ya. Sambil nunggu dijemput, saya boleh sarapan dulu ya Pak?”

Apakah Rama kapok? Sepertinya tidak. Kepulangan siswa atas keterlambatan yang terakumulasi sebanyak 6 kali berarti sebuah “pemutihan”. Artinya, keterlambatan berikutnya (keenam) dihitung lagi sebagai keterlambatan pertama pascavonis “pulang”. Dan dalam catatan keterlambatan yang saya pegang ternyata Rama pernah 3 kali dipulangkan.

Tahap kedua dari proses administrasi guru piket adalah meminta siswa untuk mengisi lembaran surat izin masuk kelas dengan format isian berupa nama, kelas, dan tentunya alasan keterlambatan. Bisa ditebak, untuk isian alasan keterlambatan jawaban paling banyak adalah MACET. Ya iya lah... dari orok sampe nenek-nenek juga tau, mana ada Jakarta nggak macet *colek Bang Kumis.

Tahap ketiga, ini yang paling memusingkan, yaitu pemberian sanksi. Inilah tahap ketika seorang guru piket harus dituntut bersikap tegas dan hati-hati. Karena selain “SP“ dan “dipulangkan”, tidak ada sanksi khusus terhadap keterlambatan mereka pada saat itu.  Semester lalu, keterlambatan paling banyak terjadi di hari Kamis. Pada hari itu jam masuk sekolah lebih cepat 15 menit dari hari biasa untuk diisi dengan tadarus bagi yang muslim dan kegiatan keagamaan lainnya bagi yang nonmuslim. Seperti biasa, memasuki menit keenam berarti mereka yang terlambat harus lapor, kemudian mengisi format surat izin masuk. Karena tidak adanya sanksi yang jelas, pada saat itu kami memberikan ganjaran berupa setoran hapalan ayat surat-surat Juz ‘Ama. Maka inilah masalah yang muncul:

Kami sebagai guru piket saat itu tidak memiliki data tentang surat apa saja yang sudah dihapal oleh setiap siswa. Sehingga, ketika diminta untuk menyetorkan hapalan ayat yang kami tentukan, mereka berdalih,

“Hapalan saya belum sampai ke situ pak.”
“ Ya sudah surat apa yang sudah kamu hapal?” tanya saya.

Dan ternyata saya sadar bahwa pertanyaan itu sangatlah bodoh karena dengan sumringahnya siswa itu menjawab,

“Surat Al-Insyiroh Pak,” sebuah surat pendek yang pastinya sangat mudah dihapal oleh kebanyakan siswa.

Jelaslah bagi mereka itu tidak seperti hukuman, melainkan hanya layaknya mengucapkan password dalam telekuis di radio untuk maju ke tahap berikutnya. Tetapi yang lebih bodoh dan konyol lagi jika situasi yang terjadi justru sebaliknya, seperti berikut ini:

“Sudah sampai di mana hapalan kamu? tanya saya.

“Surat An-Nazi’at Pak,” jawab Bima, dengan bangga. Pantas sejak tadi siswa itu tampak percaya diri walaupun datang terlambat. Pastinya ia merasa lebih aman karena kemampuan hapalannya telah melampaui teman-temannya. Setidaknya ia hanya butuh menghapal satu surat lagi untuk bisa mendapatkan predikat tahfidz juz ke-30. Predikat ini memang wajib disandang oleh seluruh siswa muslim karena merupakan bagian dari profil lulusan sekolah ini .

“Baik, silakan!,” perintah saya dengan tegas kepada Bima untuk memulai melantunkan hapalan suratnya itu. Namun tak ada yang tahu bahwa di balik ucapan tegas itu tersipan rasa malu yang sedemikian besar dan tak terkira. Terucaplah sebaris doa:

“Ya Allah Yang Mahakuasa. Demi segala kuasamu mengendalikan apa yang ada dalam pikiran setiap manusia. Janganlah sedikitpun Engkau alihkan pikiran dan konsentrasi Bima, muridku yang baik nan soleh ini, selagi ia melantunkan ayat-ayatMu Ya Allah. Jagalah kekhusyuannya dari segala gangguan yang ditimbulkan oleh jin dan syaitan serta aneka mahluk ciptaanMu. Amiin ya robbal alamiiin.”

Ayat demi ayat yang dilantunkan Bima makin membuat saya gemetar. Namun bukan sebab saya memahami makna yang terlontar.  Maka dalam hati terucaplah kalimat istigfar,

“Astaghfirullaah al aziiim.”

Tuhan sesunguhnya tidak akan memberikan cobaan di luar batas kesanggupan umatNya. Saya yakini itu betul-betul. Karena itulah sebabnya Tuhan tidak membuat Bima lupa atau salah melafalkan ayat-ayat-Nya. Betapa Tuhan tahu betul saya tidak akan sanggup memandu atau mengoreksi satu ayat, bahkan sepenggal kata pun jika itu terjadi.

Masalah lain, sanksi menghapal ayat Juz ‘Ama benar-benar cukup menyita waktu dan konsentrasi karena batas hapalan surat pada setiap siswa berbeda-beda, sehingga harus dilakukan secara perorangan. Sementara, sanksi ini jelas tidak bisa berlaku bagi siswa yang nonmuslim. Sehingga, dalam hal ini mereka sering terabaikan. Solusinya, mereka harus duduk sendiri mempelajari kitab sucinya masing-masing.

Sampai pada suatu ketika, tanpa sebab yang jelas masa berlaku sanksi berupa setoran hapalan ayat ini habis begitu saja. Hampir dua minggu berlalu, nyaris tak ada lagi lantunan ayat-ayat Juz ‘Ama dari mulut siswa yang terlambat. Entahlah, saya sendiri juga tidak paham mengapa itu terjadi. Barangkali perangkat lunak sistem aturan main sekolah mengenai sanksi keterlambatan sudah secara otomatis menghapus jenis sanksi itu dari data base-nya karena dianggap tidak efektif atau bahkan tidak relevan dengan tujuan yang diinginkan : membuat siswa disiplin.

Pada masa kekosongan itu saya sesekali memberlakukan sanksi klasik yang lazim diterapkan pada masa saya sekolah dulu: lari keliling lapangan. Tetapi secara ekstrim saya lantas teringat dengan kasus kekerasan mahasiswa STPDN,  sebuah kasus yang membuat masyarakat makin sangat gencar menuntut dihapuskannya sistem pemberian sanksi berupa fisik terhadap anak didik. Dan sanksi itu pun akhirnya tidak saya lakukan lagi. Ini bukan soal takut dikritik orang tua siswa, melainkan lebih tepatnya adalah tidak mau mengambil risiko atas hal-hal buruk yang terjadi pada siswa. Padahal saya paham betul, tidak semua sanksi fisik itu buruk dan tidak semua sanksi nonfisik dapat membuat anak bertambah baik. Barangkali itulah salah satu yang menyebabkan mental anak-anak jaman sekarang lebih lembek daripada anak-anak yang hidup di masa lalu.


Jenis sanksi keterlambatan pada akhirnya berujung pada sebuah perlakuan yang cukup efektif. Adalah sang Kepsek, yang pada suatu ketika turun tangan mengambil alih tugas kami sebagai guru piket. Dengan suara yang cukup lantang, beliau mengumpulkan anak-anak ke tengah lapangan. Ternyata mereka diminta untuk mengumpulkan sampah yang terlihat masih berserakan di lingkungan sekolah. Sebuah aktivitas yang sangat meringankan beban sang Pramubhakti sekolah. Meski pagi itu sekolah sudah tampak bersih dari sampah, anehnya siswa-siswa itu tetap bisa menggengam sejumlah sampah di tangannya. Entah, apakah memang kerja pramubhakti yang belum bersih benar, atau mungkin siswa-siswa yang sudah makin kreatif. Karena, di pojok koridor timur terlihat Dika siswa kelas VII mengoyak kertas dari buku tulisnya dan menggumpalkannya menjadi sebuah sampah yang seakan-akan baru ia pungut dari tanah.

Thursday, July 5, 2012

Bagi-Bagi Rapot

Kalau ngomongin soal bagi-bagi rapot, ada banyak cerita di dalamnya.

Buat kebanyakan orang, rapot adalah dokumen paling “sakral” setelah ijazah. Untuk apa sekolah kalau tanpa rapot. Meski hakikat pendidikan intinya merupakan sebuah proses, rapot tetaplah sebagai gambaran bukti ketercapaian proses itu. Isinya memang hanya berupa angka-angka. Namun, angka-angka itu menjadi segala-galanya bagi mereka.

Karena angka yang berbicara atas segala-galanya, maka rapot pun harus dibuat dengan tingkat ketelitian yang tinggi dan penuh dengan pertimbangan ini dan itu. Jadi, kalau ada rutinitas yang paling menyibukkan bagi guru selama satu tahun pelajaran pastinya adalah pada saat jelang bagi-bagi rapot. Pada saat itu mereka harus mengutak-atik angka-angka yang diolah dengan rumus tertentu untuk menghasilkan sebuah nilai akhir yang nantinya akan tertera pada halaman rapot.

Beruntunglah bagi mereka yang mengajar di sekolah yang jumlah siswa per kelasnya sedikit dan sudah menerapkan sistem komputerisasi dalam pengolahan nilainya. Kebayang kan kalau mengajar di sekolah yang jumlah siswa perkelasnya 40 siswa dan pengisian rapotnya masih manual alias tulis tangan. Berhadapan dengan angka-angka pastinya berasa seperti tokoh Simon di film Mercury Rising. Saat itu akan terlihatt betapa sibuknya para wali kelas mempersiapkan rapot layaknya mempersiapkan hajatan anaknya yang mau disunat.

Yang terkadang bikin repot lagi sebenaranya adalah pada saat prapengisian rapot untuk kenaikan kelas. Biasanya pada saat itu ada rapat penentuan kenaikan kelas oleh kepala sekolah dan seluruh guru. Dalam rapat tersebut setiap walikelas melaporkan hasil olahan nilai untuk rapot siswa-siswinya. Kalau laporannya menunjukkan bahwa nilai semua siswa di kelasnya memenuhi syarat untuk naik kelas, maka rapat pun akan berjalan lancar. Tapi lain soal kalau dalam laporan itu ada salah satu saja siswa yang nilainya tidak memenuhi syarat naik kelas. Di sinilah biasanya rapat bisa berlangsung alot.

Perdebatan biasanya terjadi antarsesama guru dan juga dengan kepala sekolah. beberapa guru yang idealis biasnya keukeuh memberikan nilai rapot apa adanya. Kalau toh konsekuensinya si siswa tidak naik kelas itu bukanlah aib bagi sekolah atau pun siswa, melainkan sebuah pembelajaran. Memaksa menaikkan siswa tersebut justru akan mempersulit siswa yang bersangkutan dan juga sekolah di saat Ujian Nasioanl nanti. Namun bisanya tidak demikian pendapat guru yang lain atau bahkan kepala sekolah. Bagi sekolah-sekolah unggulan, bisanya menjadi aib apabila ada siswanya yang tidak naik kelas. Reputasi sebagai sekolah unggulan akan turun. Logika yang diterima masyarakat adalah kalau sekolah unggulan pasti siswa-siswinya juga “unggul”.

Teman saya yang mengajar di sekolah unggulan lain pernah bercerita. Ketika tidak ada titik temu dari perdebatan semacam itu, jalan tengah yang diambil adalah tetap memberikan kenaikan kelas, namun siswa tersebut dipaksa pindah ke sekolah lain.

Pernah juga ada siswa yang terpaksa harus dinaikan dengan alasan-alasan tertentu. Di sekolah unggulan ada kalanya terdapat beberapa siswa “titipan” entah itu anak pejabat, atau anak pemilik yayasan sekolah yang terkadang otaknya pun pas-pasan. Sekeras apapun upaya guru, sulit membuat anak tersebut memiliki kualifikasi rata-rata siswa di sekolah itu. Men-tidak naik-kan anak tersebut pun jelas tidak mungkin. Maka konsekuensinya nilai anak itu pun didogkrak hingga bisa naik kelas.

Lain lagi dengan cerita yang terjadi di sebuah sekolah yang bukan unggulan. Seorang siswa pernah dinaikkan dua tahun berturut-turut atas dasar belas kasihan. Siswa itu adalah anak semata wayang yang menjadi harapan satu-satunya bagi orang tuanya. Hidup mereka pas-pasan. Dan parahnya tidak ada satu pun sekolah lain yang mau menerima.

Beruntung ketika diberi kesempatan menjadi wali kelas, saya hanya mengalami satu kali untuk tidak menaikkan kelas. Siswa yang jadi korban sebenarnya adalah anak yang baik. Tapi 5 bidang studi nilainya jatuh. Masalahnya ternyata ada pada orang tuanya yang selalu mengekang waktu anaknya mulai dari pulang sekolah sampai waktu tidur malam. Tidak ada waktu bermain, bersosialisasi, termasuk belajar. Yang ada hanya membantu orang tua dan menjaga adik-adiknya. Alhasil, siswa itu benar-benar terpukul menerima kenyataan tinggal kelas. Beruntung akhirnya orang tua siswa itu sadar dan menyemangati anaknya yang terduduk lemas menangis sesegukan. Terlambat memang. Tapi barangkali memang harus ada yang dikorbankan untuk membuat seseorang tersadar akan kekeliruannya.

Cerita soal bagaimana respon para siswa dan orang tua mereka pascavonis tidak naik kelas memang unik. Kebanyakan tentu mereka sangat sedih dan kecewa. Sebijaksana apapun guru memberikan penguatan kepada siswa bahwa tidak naik kelas bukanlah sebuah akhir; dan sebanyak apapun guru memberikan contoh kisah tentang orang-orang sukses setelah bangkit dari kegagalan, tetap saja mereka menganggap tidak naik kelas = aib.

Yang parah kalau orang tuanya ikutan naik darah. Sasaran tembaknya antara dua: marah-marah ke anaknya sendiri atau kalau tidak memaki-maki guru dan kepala sekolah. Rekan saya yang sudah jadi kepala sekolah pernah bercerita, salah satu orang tua yang anaknya tidak naik kelas datang menghadap. Dia tidak memaki-maki memang, tapi secara “halus” meminta kepala sekolah menaikkan anaknya sambil meletakkan pistol di atas meja kepala sekolah. Gimana nggak horror tuh.

Walau begitu, banyak juga orang tua yang dengan bijak menerima dan bahkan ikut menguatkan semangat anaknya. Orang tua model begini nih pasti paham soal pendidikan. Setidaknya, mereka cukup meringankan tugas guru untuk memberikan penguatan kepada anak.

Di sekolah unggulan, kasus tidak naik kelas jarang atau bahkan tidak penah saya jumpai. Tapi bukan berarti protes dan caci maki orang tua kepada guru ataupun kepala sekolah juga tidak ada. Bahkan kadang lebih konyol. Pernah ada pasangan orang tua siswa yang kebetulan berprofesi sebagai seniman, tidak terima jika nilai pelajaran kesenian anaknya mendapat nilai 78. Menurut mereka anaknya pantas mendapat nilai 90. Si orang tua tidak mau tahu walaupun guru keseniannya sudah menjelaskan bahwa ketika praktik menyanyi solo, suara si anak luar biasa fales. Nilai rapot memang tidak bisa diganggu gugat, namun nama dan reputasi guru kesenian itu dicoreng-moreng abis di depan orang tua murid lain dan bahkan para calon orang tua murid yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah itu.

“Hati-hati sama guru kesenian itu, ngajarnya nggak bener. Baca partitur aja nggak bisa!” begitu kasak-kusuk bernada nyinyir yang sering terdengar. Benar-benar pembunuhan karakter ya.

Tapi di balik duka, pasti ada suka. Tapi cerita ini umumnya terjadi di sekolah-sekolah unggulan yang notabene siswanya dari kalangan ortu yang tajir. Urusan siswa bermasalah nilai, paling kasusnya hanya 1 persen. Selebihnya, tidak ada masalah. Jadi jangan heran betapa berlebihannya wujud rasa terima kasih para orang tua siswa kepada wali kelasnya saat datang untuk mengambil rapot. Berdasarkan pengamatan saya, setiap wali kelas yang selesai membagikan rapot di kelasnya, akan kembali ke ruang guru dengan tangan yang penuh dengan jinjingan berisi beragam bingkisan. Bahkan mereka tak segan-segan membuka bingkisan itu di depan para guru yang lain. Ada yang isinnya jam tangan, handphone terbaru, baju, tas bermerek, bahkan segepok uang tunai.

“Berangkat kerja naik ojek, pulang kayaknya harus sewa dua bajaj nih”, celetuk salah seorang guru menyindir. Saya dan beberapa guru debutan yang tidak jadi wali kelas cuma bisa nyengir kuda.

Jadi, ya begitulah nasib menjadi wali kelas jelang dan saat bagi rapot. Sudah lelah fisik, batin pun kadang ikutan dibikin letoi. Tapi begitu tahu bahwa sesudahnya happy ending, posisi wali kelas bagi guru-guru ibarat jabatan “basah” di kantor PNS, semua pasti mau.

Tapi ada salah seorang teman saya yang ngebet banget jadi wali kelas bukan karena soal dapat bingkisan-bingkisan itu, melainkan karena satu alasan:
“Saya pengen banget bisa tanda tangan di rapot supaya nanti tanda tangan saya bisa dikenang siswa ketika mereka udah jadi pejabat,” katanya dengan penuh harap.

Belakangan setelah saya pindah dari sekolah unggulan itu, harapan teman saya terwujud. Ia akhirnya jadi wali kelas. Semoga saja siswanya ketika kelak jadi pejabat benar-benar nggak lupa sama wali kelasnya itu.

Friday, June 15, 2012

Menanamkan Rasa Takut

Salah satu yang menjadi kehawatiran saya terhadap anak-anak zaman sekarang adalah mereka seolah tidak punya rasa takut. Dalam hal tertentu itu mungkin bagus, seperti tidak takut tikus atau kecoa. Sudah pasti anak seperti itu pasti jadi andalan orang tuanya untuk memburu tikus dan kecoa di dapur.

Tapi untuk beberapa hal yang lain, ketidakpunyaan rasa takut itu efeknya sungguh sangat tidak baik. Padahal, rasa takut itu sebenarnya bisa menjadi salah satu kontrol bagi setiap orang dalam melakukan sebuah tindakan. Nah, kalau tindakan yang dilakukan cenderung menyimpang, maka rasa takut itu sesungguhnya penting bukan.

Idealnya sih, dalam mengontrol segala tindakan menyimpang itu cukup satu hal yang perlu ditakuti, yaitu Tuhan. Tapi dalam konteks mendidik anak sekolah usia SD atau SMP yag terbilang labil, tidaklah mudah menanamkan rasa takut terhadap Allah dalam diri mereka karena itu terkait dengan seberapa kuat iman yang tertanam. *eh tapi kalo soal itu kayaknya sihberlaku juga buat anak dewasa deh.

Terhadap anak saya yang berumur 3 tahun, setiap kali dia menanyakan alasan saya melarang tindakannya yang tidak baik, awalnya saya selalu menjawab, “Nanti dimarahin Allah”. Tapi belakangan saya dan istri khawatir, keseringan memberikan jawaban itu justru akan membuatnya memiliki konsep pemahaman bahwa Allah itu galak, dan suka marah-marah. Padahal, Allah itu harus dicintai bukan.

Jawaban untuk itu pun kini saya balik, “Allah itu senang sama anak yang berbuat baik. Kalau kita berbuat yang baik, Allah akan memberikan kita sehat dan rezeki yang banyak”. (Sambil berharap semoga saja jawaban ini lebih baik setidaknya dari jawaban sebelumnya)

Namun, ketika sekarang frekuensi bertanya anak saya ini makin kritis lagi, bahkan sudah mengarah ke logika, saya mulai “memperkenalkannya” dengan konsekuensi, alias akibat. Misalnya, kalau memegang setrikaan tentu saja akibatnya tangan melepuh, tidak mau mandi akibatnya badan akan bau dan gatal-gatal, akibat tidak mau gosok gigi adalah ya sakit gigi. Ketika dia merasakan sendiri akibat itu, maka tentu ia tidak akan mengulangi tindakannya tadi.

Tapi ada juga beberapa tindakan jelek yang memiliki konsekuensi yang belum bisa dipahami. Untuk beberapa tindakan itu biasanya saya katakan, “Kalau kamu lakukan itu, Papa akan marah.” Ia memang paling tidak mau kalau papanya marah. Ia pun langsung takut walau sebenarnya saya tidak mau seperti itu terus.

Begitupun  halnya dengan siswa saya di sekolah baik yang tingkat SD hingga SMA. Setidaknya ada tiga hal yang mampu mengontrol tindakan mereka. Ketiganya terkait dengan rasa takut itu.

Pertama ada siswa yang benar-benar menghindari tindakan buruk karena takut dosa. Ini hubungannya tentu dengan rasa takut kepada Tuhan yang kuncinya adalah kualitas iman yang tertanam pada diri mereka masing-masing. Kedua, bisanya karena mereka takut dengan ancaman sanksi dari sekolah. Dan yang ketiga, biasanya siswa yang sudah pernah merasakan sanksi itu dan merasakan kapok.

Dari tiga tipikal itu, sebenarnya yang paling banyak  saya jumpai sih yang kedua. Untuk tipikal yang pertama di sekolah-sekolah umum jaman sekarang susah. coba deh, pasti jarang nemu anak yang takut ama dosa. Mereka lebih takut dengan sanksi nyata yang bisa mereka lihat atau rasakan sendiri.

Setidaknya saya pernah mengamati beberapa kasus yang membuktikan hal tersebut. Salah satu siswa SMA ada yang tidak pernah kapok melakukan bullying kepada temanya meskipun ia sudah tahu kalau tindakannya itu berdosa. Namun ia tidak lagi melakukan itu setelah ia merasakan sendiri konsekuensi yang diterimanya: dijauhi seluruh siswa.

Begitu juga dengan kasus menyontek. Sampai berbusa-busa mulut ini menjelaskan kepada mereka bahwa menyontek itu awal dari ketidakjujuran dan hukumnya DOSA. Efeknya, cuma sekali dua kali ampuh mereka tahan tidak nyontek. Selanjutnya, ya terulang lagi. Namun begitu dipertegas bahwa barang siapa yang menyontek kertas ulangannya akan disobek dan diberikan nilai nol, dan ada salah seorang siswa yang mengalaminya, mereka semua kapok.

Bahkan memahami konsekuensi saja tidak cukup efektif jika belum merasakannya. Ada seorang siswa SMP yang beberapa kali sudah diberi peringatan menyangkut nilai akademiknya yang berpotensi untuk tidak naik kelas, ia hanya cuek meskipun saya tahu  secara akademik otaknya mampu untuk megatasi itu. Dan setelah konsekuensi itu benar-benar ia rasakan, alias dia tidak naik kelas, ia menangis meraung-raung dan menyesalinya.

Tapi di antara ketiga tipikal itu, ada yang lebih parah. Dan ini yang saya khawatirkan seperti di awal tadi. Ada anak yang benar-benar tidak punya rasa takut sama sekali terhadap apapun. Jangankan kata dosa, diancam sanksi berat pun dia bergeming. Puncaknya, ketika sanksi itu benar-benar diberikan, saya dan beberapa rekan guru berpikir ia akan benar-benar kapok dan berubah. Ternyata tidak sama sekali. Padahal sanksi itu adalah tinggal kelas untuk yang kesekian kali.

Friday, June 8, 2012

Berpacu dalammmmm Melodi…!

Bermultitalenta itu wajib hukumnya bagi setiap guru yang mau mengajar di sekolah ini. Dan tahukah Anda, bahwa multitalenta yang dimaksud itu ya dalam arti yang seluaaaaaaas-luasnya. Kalau diterjemahkan secara bebas maksudnya adalah disuruh apa aja bisa mau. Tidak terkecuali menginfal kelas alias gantiin guru yang tidak masuk atau memang sama sekali tidak ada karena keterbatasan guru.

Soal infal-menginfal sebenarnya sih sudah biasa dilakukan oleh guru-guru di sekolah manapun, tapi biasanya hanya menjaga asal kelas tidak kosong. Misalnya kalau ada guru fisika yang tidak masuk, biasanya ia memberikan tugas kepada guru piket yang menginfal.

Tapi di sini, guru Fisika saja terpaksa harus bisa juga ngajar olahraga. Guru Kimia rangkap jabatan jadi guru Bahasa Indonesia dan Geografi. Guru IPA jago ngajar Seni Musik. Pelajaran Bahasa Inggris di-handle juga lho sama guru Biologi. Guru Bahasa Inggris juga mengajar Pendidikan Kewarganegaraan. Hebat kan? Hehehehe…

Beruntungnya saya, karena jam Bahasa Indonesia itu paling banyak jadi tidak harus mengajar bidang studi lain, tetapi tetap harus siap kalau sewaktu-waktu diminta menginfal pelajaran lain.

Dan… deng-deng-deng… kena juga deh giliran saya yang terpaksa kudu ngajar Seni Musik kelas V SD lantaran gurunya ikut penataran.

“Pak kenapa bawa-bawa gitar, biasanya kita belajar nyanyi pake piano?”

“Kalau mau jadi penyanyi hebat, kamu harus bisa menyanyi diiringi alat musik apapun.” *ngeles... padahal emang nggak bisa main piano

Trus kita ngapain sekarang Pak?”

“Hari ini Bapak akan menguji kemampuan kalian dalam mengenal lagu-lagu dengan permainan Berpacu dalammmm Melodi.” * tararaaaaamm… bergaya ala Koes Hendratmo

“Apaan tuh Pak?” *Jiaaah… gue lupa, mana tau mereka kuis era 80-90’an. ketahuan kan kalo gurunya jadul

“Kita akan bermain tebak-tebakan lagu”

“Horeeeee!”

Anehnya anak-anak bisa langsung paham dengan mengelompokkan diri dalam regu yang masing-masing terdiri dari 3 orang ala klompencapir cerdas ceramat *masih ketahuan jadulnya kan.

Tapi biar tidak terlihat jadul dan lebih menonjolkan musikalitas mereka, setiap regu tidak menggunakan bel, tetapi mereka harus bersenandung dangan nada solmisasi kalau ingin menjawab pertanyaan.

Regu A : “do- re- mi”
Regu B : “do- mi- sol”
Regu C : “la- sol- fa”

Permainan ini dibagi ke dalam dua babak. Babak pertama menebak judul lagu yang dimainkan lewat petikan gitar dan babak kedua meneruskan lirik lagu yang dinyanyikan. Permainannya menggunakan sistem rebutan, tanpa pengurangan nilai. Lagu-lagu yang diujikan adalah lagu daerah dan lagu wajib nasional.

Sudah 7 jawaban terlempar di babak  I, tapi 3 jawaban tidak bisa di jawab dengan tepat, dan sisanya dicuekin karena mereka tidak tahu. Tidak heran mereka pun langsung protes.

“Yah Bapak, jangan lagu-lagu yang begituan melulu dong,” kata juru bicara regu A
“Iya Pak, masa lagu-lagu jaman perang terus. Itu kan udah sering dinyanyiin waktu upacara. Norak!” juru bicara regu B menimpali. *saya bilangin sama penciptanya lho.

“Ganti lagu barat dong Pak. Lagunya Adele atau Bruno Mars gitu, pasti kita bisa jawab,”kata juru bicara regu C mengakhiri protes.

Kalau mereka tahu koleksi lagu di MP3 player gurunya itu lagu-lagu klasik rok tahun 80-90’an semua, nggak bakalan deh request lagu-lagu begituan. Mereka pasti yakin kalau gurunya nggak mungkin tahu & bisa mainin lagu Adele atau Bruno Mars.

“Nak, kalian semua ini adalah generasi penerus bangsa. Kalau bukan kalian, siapa lagi yang nantinya akan melestarikan lagu-lagu nasional warisan bangsa kita,” jawab saya. *ngeles maning

Tibalah babak II. Untuk babak yang hanya mengharuskan siswa meneruskan lirik ini, saya sengaja menyanyikan potongan lirik dari bagian reffrain-nya supaya mereka kenal. Terbukti, 9 soal habis dilahap: 2 untuk regu A, 3 untuk regu B, 3 untuk regu C dan  1 milik dewan juri. *padahal sih ga ada jurinya

Tibalah soal terakhir.

“Teruskanlah lirik berikut ini : Kuraut dan kutimbang dengan benang…..,” senandung saya dengan penuh semangat menyanyikan potongan lagu Bermain Layang-Layang ciptaan M. Yusuf.

“La- sol- fa,” teriak juru bicara regu C dengan nada yang sebenarnya terdengar seperti do- mi- sol .

“Iya silalakan regu C!,” suara saya makin semangat lantaran setelah ini tugas saya sebagai guru musik jadi-jadian selesai sudah.

“Den Takana Jo Kampuang,” sahut juru bicara regu C sambil merasakan aura kemenangan setelah percaya diri meneruskan lirik lagu tersebut dengan lagu Kampuang Nan Jauh di Mato.

*onde mande …!!

Thursday, June 7, 2012

Momentum

Sadar atau tidak, ada satu kebiasaan yang sering kali diabaikan guru di sekolah-sekolah umum –dan menurut saya ini sebuah kesalahan-, yaitu ketika melihat seorang siswa laki-laki yang selalu senang berkelompok dengan siswa putri (dan juga sebaliknya). Biasanya situasi ini dapat jelas dijumpai pada saat sebelum masuk kelas, jam sitirahat, atau pun jam pulang sekolah.

Di sisi lain, sadar atau tidak, kalau kata “homo” (merujuk ke kata  “homoseksual”) kini sudah menjadi salah satu kosa kata yang dikuasai siswa-siswa kelas 2 SD.

Saya pernah dibuat shock oleh salah seorang siswa laki-laki kelas 2 SD. Itu terjadi ketika secara spontan saya mencubit gemas pipinya yang tembem sambil menasihati untuk mengikat tali sepatunya. Tiba-tiba dengan spontan anak itu bilang,

“Idih Bapak homo.”

“Emang homo itu artinya apa?” tanya saya.

“Ya suka sama laki-laki, alias gay.” *alamak nambah lagi kosa katanya.

Pertanyaan saya, dari mana anak seusia itu tahu kata-kata itu? Lalu sejauh mana pengetahuan anak itu terhadap homoseksualitas?

Kebetulan topik ini lagi anget-angetnya diperdebatkan oleh kalangan LSM dan juga kaum feminis. Kalau mau bahas soal homoseksual, ujung-ujungnya pasti akan sampai pada pertentangan antara pendapat yang menganggap homoseksual sebagai penyakit sosial dan pendapat yang menganggap homoseksial sebagai kodrat lahiriah yang tidak bisa ditentang. Contohnya seperti yang belakangan dikumandangkan oleh kaum feminis yang menyatakan bahwa lesbian ibarat pencapaian tertinggi seorang feminis. Sebab perempuan tidak lagi bergantung pada laki-laki untuk mendapatkan kepuasan seksual.

Nah, kalau pendapat saya sih homoseksual itu tetap tergolong penyimpangan orientasi seksual. Ajaran agama yang saya yakini pun melarang hal itu. Kalau tidak, lalu apakah ada alasan lain Allah memusnahkan kaum Nabi Luth?

Tapi itu bukan berarti saya akan mengucilkan, menjauhi atupun menolak segala pemikiran mereka yang telah terlanjur “terjerumus” dalam homoseksualitas itu. Namun, sebagai guru saya merasa punya tanggung jawab moral untuk mencegah anak didik saya terjerumus dalam kehidupan itu.

Saya yakin ada satu momentum dalam setiap rentang kehidupan manusia yang akan menentukan arah orientasi seksual mereka. Momentum itu bisa muncul sejak kecil. Di sinilah peran penting orang tua dan guru untuk mengarahkan anak agar mereka tidak “berbelok” ke orientasi yang salah ketika berada pada momentum itu.

Makanya saya tidak bisa cuek kalau melihat ada seorang siswa laki-laki yang setiap saat selalu nyaman bergabung bermain bersama kelompok siswa perempuan (dan sebaliknya). Menurut saya inilah salah satu  momentum yang saya maksud tadi.

Kebetulan pada suatu hari, untuk menggantikan guru olahraga yang absen, saya mendapat giliran mengajar penjaskes di kelas siswa “laki-laki” itu (sebut saja namanya Adrian). Seperti pelajaran penjaskes yang biasanya dilakukan, saya mengelompokkan mereka berdasarkan siswa laki-laki dan siswa perempuan. Siswa laki-laki tentu saya beri kegiatan bermain sepak bola, sementara siswa perempuan permainan lompat tali.

Seketika itu, Adrian mojok di sudut lapangan dan menolak bergabung bermain bola dengan siswa laki-laki lainnya.

“Kenapa Adrian?” tanya saya.

“Saya tidak bisa main bola Pak.”

“Temanmu yang lain juga tidak semuanya bisa main bola. Yang penting kamu ikut berlari agar badanmu sehat. Lama-lama pasti terbiasa dan bisa.”

“Saya tidak suka dengan mereka Pak.”

“Kenapa? Mereka memusuhi kamu?”

“Mereka sepertinya tidak ada yang mau main dengan saya Pak.”

Lalu saya mengumpulkan seluruh siswa laki-laki yang sedang bermain bola.

“Dengar, di sekolah ini kita semua adalah keluarga. Maka jangan ada di anatara kalian yang saling mengucilkan temannya. Apakah kalian mau kalau kalian yang dikucilkan?”

“Tidak Paaaaak.”

“Kalau begitu, bermainlah bersama-sama. Jangan pilih-pilih teman!”

“Kita mau-mau aja kok Pak. Tapi, emang dia kali Pak yang nggak mau gabung,” celetuk salah seorang siswa laki-laki.

“Adrian, kamu dengar kan? Mereka mau kok bermain dengan kamu. Sekarang begabunglah main dengan mereka!”

Adrian akhirnya bergabung. Tetapi ternyata itu tidak berlangsung lama karena 10 menit setelah itu, tanpa saya sadari tiba-tiba ia sudah berada dalam kelompok siswa perempuan sedang bermain lompat tali.

Sekali lagi, ini adalah momentum dan saya harus mengarahkannya dengan cara yang halus. Kali ini seluruh siswa laki-laki maupun perempuan saya kumpulkan.

“Anak-anak sekarang saatnya bergantian. Siswa laki-laki bermain lompat tali, dan siswa perempuan bermain bola.”

“Yaah Bapak, itu kan permainan anak cewek”, kata siswa laki-laki.

“Tau nih Bapak, masak kita anak cewek main bola.” balas siswa perempuan.

“Lho kalian belum tahu sih, sekarang ini kan sudah ada kejuaraan dunia sepakbola puteri. Walaupun yang main itu perempuan, permainan mereka tidak kalah hebat lho dengan tim sepakbola laki-laki.”

Sontak muka-muka sumringah para siswa perempuan seolah merasa ada sesuatu kebanggaan baru yang mewakili gender-nya. Dan kepada siswa laki-laki saya katakana,

“Lompat tali itu sangat bagus untuk melatih kemampuan melompat kalian agar menjadi lebih baik. Kalian kenal pebasket terkenal asal Amerika bernama Michael Jordan?” *kalau nggak kenal silahkan googling  

“Horeee!” sambut seluruh siswa laki-laki kecuali Adrian.

Sekenario ini pun berjalan mulus hingga akhirnya 15 menit berselang –dan lagi-lagi luput dari perhatian saya– saya melihat Adrian mengambilkan bola hasil tendangan siswa perempuan yang menyasar kepadanya. Pikir saya ia hanya membantu mengambilkan. Tapi ternyata setelah itu ia menggiring bola itu dengan lihainya, menggocek siswa perempuan yang dilaluinya, dan gooool. Ia pun sukses menyarangkan bola itu ke gawang lawan. Semua siswa perempuan bersorak dan tidak canggung untuk memeluk Adrian.

Semoga ini bukan momentum yang membuat Adrian "berbelok". *garuk-garuk kepala