Friday, June 15, 2012

Menanamkan Rasa Takut

Salah satu yang menjadi kehawatiran saya terhadap anak-anak zaman sekarang adalah mereka seolah tidak punya rasa takut. Dalam hal tertentu itu mungkin bagus, seperti tidak takut tikus atau kecoa. Sudah pasti anak seperti itu pasti jadi andalan orang tuanya untuk memburu tikus dan kecoa di dapur.

Tapi untuk beberapa hal yang lain, ketidakpunyaan rasa takut itu efeknya sungguh sangat tidak baik. Padahal, rasa takut itu sebenarnya bisa menjadi salah satu kontrol bagi setiap orang dalam melakukan sebuah tindakan. Nah, kalau tindakan yang dilakukan cenderung menyimpang, maka rasa takut itu sesungguhnya penting bukan.

Idealnya sih, dalam mengontrol segala tindakan menyimpang itu cukup satu hal yang perlu ditakuti, yaitu Tuhan. Tapi dalam konteks mendidik anak sekolah usia SD atau SMP yag terbilang labil, tidaklah mudah menanamkan rasa takut terhadap Allah dalam diri mereka karena itu terkait dengan seberapa kuat iman yang tertanam. *eh tapi kalo soal itu kayaknya sihberlaku juga buat anak dewasa deh.

Terhadap anak saya yang berumur 3 tahun, setiap kali dia menanyakan alasan saya melarang tindakannya yang tidak baik, awalnya saya selalu menjawab, “Nanti dimarahin Allah”. Tapi belakangan saya dan istri khawatir, keseringan memberikan jawaban itu justru akan membuatnya memiliki konsep pemahaman bahwa Allah itu galak, dan suka marah-marah. Padahal, Allah itu harus dicintai bukan.

Jawaban untuk itu pun kini saya balik, “Allah itu senang sama anak yang berbuat baik. Kalau kita berbuat yang baik, Allah akan memberikan kita sehat dan rezeki yang banyak”. (Sambil berharap semoga saja jawaban ini lebih baik setidaknya dari jawaban sebelumnya)

Namun, ketika sekarang frekuensi bertanya anak saya ini makin kritis lagi, bahkan sudah mengarah ke logika, saya mulai “memperkenalkannya” dengan konsekuensi, alias akibat. Misalnya, kalau memegang setrikaan tentu saja akibatnya tangan melepuh, tidak mau mandi akibatnya badan akan bau dan gatal-gatal, akibat tidak mau gosok gigi adalah ya sakit gigi. Ketika dia merasakan sendiri akibat itu, maka tentu ia tidak akan mengulangi tindakannya tadi.

Tapi ada juga beberapa tindakan jelek yang memiliki konsekuensi yang belum bisa dipahami. Untuk beberapa tindakan itu biasanya saya katakan, “Kalau kamu lakukan itu, Papa akan marah.” Ia memang paling tidak mau kalau papanya marah. Ia pun langsung takut walau sebenarnya saya tidak mau seperti itu terus.

Begitupun  halnya dengan siswa saya di sekolah baik yang tingkat SD hingga SMA. Setidaknya ada tiga hal yang mampu mengontrol tindakan mereka. Ketiganya terkait dengan rasa takut itu.

Pertama ada siswa yang benar-benar menghindari tindakan buruk karena takut dosa. Ini hubungannya tentu dengan rasa takut kepada Tuhan yang kuncinya adalah kualitas iman yang tertanam pada diri mereka masing-masing. Kedua, bisanya karena mereka takut dengan ancaman sanksi dari sekolah. Dan yang ketiga, biasanya siswa yang sudah pernah merasakan sanksi itu dan merasakan kapok.

Dari tiga tipikal itu, sebenarnya yang paling banyak  saya jumpai sih yang kedua. Untuk tipikal yang pertama di sekolah-sekolah umum jaman sekarang susah. coba deh, pasti jarang nemu anak yang takut ama dosa. Mereka lebih takut dengan sanksi nyata yang bisa mereka lihat atau rasakan sendiri.

Setidaknya saya pernah mengamati beberapa kasus yang membuktikan hal tersebut. Salah satu siswa SMA ada yang tidak pernah kapok melakukan bullying kepada temanya meskipun ia sudah tahu kalau tindakannya itu berdosa. Namun ia tidak lagi melakukan itu setelah ia merasakan sendiri konsekuensi yang diterimanya: dijauhi seluruh siswa.

Begitu juga dengan kasus menyontek. Sampai berbusa-busa mulut ini menjelaskan kepada mereka bahwa menyontek itu awal dari ketidakjujuran dan hukumnya DOSA. Efeknya, cuma sekali dua kali ampuh mereka tahan tidak nyontek. Selanjutnya, ya terulang lagi. Namun begitu dipertegas bahwa barang siapa yang menyontek kertas ulangannya akan disobek dan diberikan nilai nol, dan ada salah seorang siswa yang mengalaminya, mereka semua kapok.

Bahkan memahami konsekuensi saja tidak cukup efektif jika belum merasakannya. Ada seorang siswa SMP yang beberapa kali sudah diberi peringatan menyangkut nilai akademiknya yang berpotensi untuk tidak naik kelas, ia hanya cuek meskipun saya tahu  secara akademik otaknya mampu untuk megatasi itu. Dan setelah konsekuensi itu benar-benar ia rasakan, alias dia tidak naik kelas, ia menangis meraung-raung dan menyesalinya.

Tapi di antara ketiga tipikal itu, ada yang lebih parah. Dan ini yang saya khawatirkan seperti di awal tadi. Ada anak yang benar-benar tidak punya rasa takut sama sekali terhadap apapun. Jangankan kata dosa, diancam sanksi berat pun dia bergeming. Puncaknya, ketika sanksi itu benar-benar diberikan, saya dan beberapa rekan guru berpikir ia akan benar-benar kapok dan berubah. Ternyata tidak sama sekali. Padahal sanksi itu adalah tinggal kelas untuk yang kesekian kali.

No comments:

Post a Comment