Wednesday, June 6, 2012

Siapa Sudi Berteman dengan Jin?

Sebuah lembaran kertas HVS bekas tertempel di salah satu sisi dinding pantry di sudut belakang ruang guru. Pada kertas itu tertulis sebuah pesan atau lebih tepatnya imbauan yang kurang lebih seperti ini redaksinya: “Mohon dengan sangat agar piring, gelas, garpu, dan sendok yang telah digunakan, dicuci kembali. Yang senang jorok dan kotor temannya jin”

Isi imbauan itu ditujukan kepada pengguna pantry yang notabene adalah para guru. Dan usut punya usut si penulis imbauan itu adalah salah seorang dari mereka yang selama ini merasa risih dengan kebiasaan beberapa rekannya yang kerap meninggalkan piring, gelas, sendok, dan atau garpu yang habis digunakan, dalam keadaan kotor dan tidak dicuci kembali. Ia tidak tahu secara pasti siapa pemilk kebiasaan yang dianggap jorok itu. Karena itulah ia hanya bisa mengimbau melalui tulisan pada secarik kertas bekas itu.

Saat itu juga Imbauan tersebut menjadi buah bibir di  kalangan guru-guru di ruangan itu. Namun bukan masalah kebiasaan jorok itu yang mejadi pusat pembicaraan, bukan pula soal pantas atau tidaknya penyampaian imbauan itu. Mereka pun tidak membahas siapa pemilik kebiasaan yang dianggap jorok itu. Tetapi, sejatinya masalah redaksional imbauan pada kertas itulah yang menjadi sorotan. Semua itu berawal pernyataan salah seorang guru yang mengatakan, “Kalian adalah teman-teman saya, maka kalau saya jorok berarti kalian semua adalah jin.” Sejenak, semua yang mendengar itu terdiam, berusaha mencerna pernyataan itu.  Mereka belum menyadari bahwa itu hanyalah kelakar. Dan benar saja, tidak sampai semenit tawa mereka meledak di ruangan itu. Tidak terkecuali saya.

Bagi orang lain mungkin kelakar itu terkesan biasa, namun sejatinya inilah kelakar yang cukup intelek. Maka, mereka yang bisa tertawa di ruangan itu sesungguhnya memiliki nalar berbahasa yang tinggi. Mereka sangat peka menangkap pernyataan si pelontar kelakar yang cukup berinteligensi. Saya senang bukan kepalang dengan situasi semacam ini. Alasannya tidak terlepas karena status saya sebagi guru bahasa. Karena kejadian inilah, saya pada akhirnya bisa menjelaskan kepada siswa dengan lebih sederhana mengenai salah satu bentuk salah kaprah dalam berbahasa Indonesia, yaitu penggunaan kata –nya. Namun sebelum menganalisis bahasa imbauan yang berbuah kelakar itu,  ada baiknya kalau kita menyinggung sedikit salah satu bagian dari kaidah berbahasa Indonesia tersebut.

Dalam bahasa Indonesia kita tentu mengenal kata–nya sebagai sebuah bentuk terikat yang berfungsi sebagai acuan atau kata ganti orang ketiga atau kata ganti nomina. Perhatikan contoh kalimat berikut:
(1)   Saya membeli sebuah novel terbaru, tetapi hingga kini saya belum sempat membacanya.
(2)   Karena modelnya bagus, saya memutuskan membeli baju itu.
(3)   Rino akan menyumbangkan seluruh uangnya untuk pelaksanaan kegiatan itu.
(4)   Saya sudah membujuknya, namun adik tetap saja tidak mau berhenti menangis.

Jika kita amati, penggunaan kata –nya dalam kalimat (1) dan (2) merupakan kata ganti yang merujuk pada sebuah benda yang tersebut dalam tiap-tiap kalimat, yakni novel pada kaliamat (1), dan baju pada kalimat (2). Sementara pada kalimat (3) dan (4), kata –nya berfungsi sebagai kata ganti orang ketiga yaitu Rino  dan Adik. Penggunaan kata –nya pada kalimat (1) dan (3)  merujuk pada sesuatu yang disebutkan di awal (anafora), sementara pada kalimat (2) dan (4) merujuk pada sesuatu yang disebut di akhir (katafora). Tanpa kehadiran kata ganti –nya, kita akan melihat alternatif kalimat-kalimat di atas menjadi seperti berikut ini:
(5)   Saya membeli sebuah novel terbaru, tetapi hingga kini saya belum sempat novel terbaru itu.
(6)   Karena model baju itu bagus, saya memutuskan membeli baju itu.
(7)   Rino akan menyumbangkan seluruh uang Rino untuk pelaksanaan kegiatan itu.
(8)   Saya sudah membujuk adik, namun adik tetap saja tidak mau berhenti menangis.
Namun keempat kalimat yang ditunjukkan oleh nomor (5) s.d. (8) dalam hal ini terlihat kurang efektif karena penggunaan kata yang tidak ekonomis.

Uraian mengenai kaidah penggunaan kata –nya di atas mungkin sudah cukup jelas, mudah, dan sederhana untuk dipahami dengan baik. Namun terkadang pemahaman yang baik terkadang tidak berbanding lurus dengan penggunaanya. Sehingga munculah berbagai prilaku salah kaprah berbahasa melalui kalimat-kalimat seperti berikut:

(9)   Hadirin, demikianlah sambutan dari saya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
(10) Demikian surat lamaran ini. Besar harapan saya untuk dapat bergabung dalam perusahaan yang Bapak/Ibu pimpin. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Apabila kita cermati, kalimat (9) tentu tidak asing lagi kita dengar dalam sebuah sambutan atau pidato singkat. Begitupun dengan kalimat (10) yang sering kita jumpai dalam teks sebuah surat resmi. Karena sifatnya yang tidak asing dan terbiasa di dengar atau dibaca, tak banyak orang yang mampu menyadari bahwa kalimat itu salah. Dan ketika sudah dinyatakan bahwa kalimat tersebut salah, sebagian besar orang mungkin akan makin bertanya, “Mengapa itu salah?”, atau mungkin juga mempertanyakan “Di mana letak kesalahannya?”

Barangkali akan tampak terlalu teoretis apabila pertanyaan itu dijawab dengan sebuah penjelasan seperti berikut ini:
Kata -nya merupakan kata ganti untuk benda atau orang ketiga, sedangkan rujukan pada contoh kalimat (9) dan (10) kedudukannya adalah sebagai orang kedua yang diajak berkomunikasi secara lisan atau tulisan.

Maka untuk pertanyaan semacam itu, saya biasa memberikan jawaban dengan sebuah ilustrasi seperti ini:
Jika Anda menjadi tamu yang hadir untuk mendengarkan sambutan dari saya, dan pada bagian akhir sambutan itu saya mengucapkan kalimat, “Hadirin, demikianlah sambutan dari saya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.”, alangkah percuma bila Anda memberikan tepukan tangan untuk sambutan itu. Karena pada dasarnya tidak sedikitpun terdapat makna dalam ucapan itu kalau saya mengucapkan terima kasih kepada Anda. Begitupun sebaliknya. Sebagus apapun isi pidato Anda, sebagai tamu saya tidak akan merasa tersanjung dengan ucapan terima kasih yang Anda ucapkan entah untuk siapa.
Jika saya pemilik sebuah perusahaan  yang menerima sebuah surat lamaran dengan beberapa kalimat akhir bertuliskan,  “Demikian surat lamaran ini. Besar harapan saya untuk dapat bergabung dalam perusahaan yang Bapak/Ibu pimpin. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.”, maka saya sudah pasti akan mengabaiknnya karena saya merasa bahwa surat itu tidak ditujukan kepada saya. 

Ilustrasi itu setidaknya itu terkesan lebih realis daripada sebuah uraian teoretis. Hal itu makin terbukti tatkala ilustrasi itu secara tak langsung dikemas dalam sebuah kelakar tentang “Jin Jorok” yang dilontarkan rekan guru tadi. Maka, segenap tawa yang menyertainya sekaligus merupakan hasil sebuah metode evaluasi efektif yang menunjukkan bahwa mereka mengerti. Mereka telah menguasai salah satu kepingan kecil dari ratusan keping kaidah berbahasa Indonesia, yaitu penggunaan kata –nya

No comments:

Post a Comment